5. Makna Kehidupan Menurut Pandangan Ajaran Buddha Dharma 以佛法谈生命的意义

5. Makna Kehidupan Menurut Pandangan Ajaran Buddha Dharma

Yang ingin saya (Master) bahas dengan kalian pada hari ini adalah: kita harus menjadi seorang gentleman atau orang yang berbudi luhur – “jun zi” (君子) , janganlah menjadi “xiao ren“ (小人)– orang kecil, yang di sini berarti orang yang licik. Apa yang dimaksud dengan orang yang berbudi luhur? Singkatnya, orang yang berbudi luhur adalah orang yang selalu bersedia untuk dirugikan orang lain. Apa yang dimaksud dengan orang yang licik? Adalah orang yang selalu berpikir untuk mengambil keuntungan dari orang lain. Saya berharap, murid-murid sekalian bisa mendisiplinkan diri setiap hari, coba diperhatikan, apakah Anda adalah orang yang berbudi luhur atau orang yang bersifat licik. Anda harus menyadari dan menyesali kesalahan Anda sendiri, mengintrospeksi diri atas kesalahan-kesalahan yang pernah Anda lakukan.

Mengapa seseorang bisa memiliki “ketidaktahuan”? Ketidaktahuan atau “wu zhi” (无知) adalah ketidakmampuan untuk meng-introspeksi diri sendiri. Seharusnya setiap orang, setiap hari, ketika sampai di rumah, bisa mengingat-ingat kembali, kesalahan apa yang saya lakukan hari ini? Seberapa besar pengorbanan yang dilakukan orang lain untuk saya? Namun, sekarang ini yang selalu dikatakan malah, “Seberapa banyak kebaikan yang telah saya perbuat, seberapa banyak orang yang telah saya bantu”, tetapi tidak pernah berpikir tentang “Berapa banyak kesalahan yang telah saya lakukan”.

“Seorang Bodhisattva (Pu Sa) tidak akan merasakan keduniawian, hanya merasakan pikirannya sendiri.” Mengapa demikian? Karena orang yang bisa merasakan pikirannya sendiri, sama saja dengan merasakan pikiran semua makhluk.

Tidak merasakan keduniawian, berarti tidak memikirkan dan tidak merisaukan hal-hal yang lain (hal-hal duniawi). Hanya merasakan pikirannya sendiri, sama dengan hanya memperhatikan dirinya sendiri, terpusat untuk menyadarkan pikirannya sendiri. Jika Anda mengira bahwa hanya dengan memperhatikan diri sendiri, meny-adarkan diri sendiri dan tidak memperhatikan orang lain, bukankah ini sama seperti membina diri menurut Roda Dharma Kecil? Maka Anda salah. Karena seseorang yang sadar akan pikirannya sendiri, pada saat dia benar-benar bisa memahami pemikirannya sendiri dengan seksama, selalu peka akan perasaannya sendiri, maka sebenarnya dia sudah bisa merasakan pikiran dan perasaan semua makhluk. Manusia sendiri pada dasarnya adalah suatu bentuk kesatuan, karena raga (tubuh badaniah) setiap orang semuanya berasal dari satu jiwa utama (jiwa awal) yang sama. Jika Anda menggunakan jiwa utama ini untuk benar-benar merasakan dirimu sendiri, maka sebenarnya Anda sedang merasakan perasaan semua makhluk di dunia ini. Jika kamu sedang berpikir, apakah yang Anda lakukan benar atau tidak, maka sebenarnya kamu sedang merasakan perasaan semua makhluk. Maka inilah yang dinamakan berwelas asih kepada orang lain seperti berwelas asih kepada diri kita sendiri – “tong ti da bei(同体大悲). “Apakah yang paling mulia di dalam hidup ini?” Harap diingat baik-baik, bahwa hal yang paling mulia di dalam hidup ini adalah tetap bisa bersikap ramah kepada orang yang bersikap munafik dan memperlakukan kita secara tidak adil. Jika kamu mengetahui bahwa orang itu hanya berpura- pura, munafik dan tidak bisa menepati janjinya, namun kamu tetap bisa tersenyum lebar dan bersikap ramah kepadanya, maka kamu adalah seorang Pu Sa. Ada berapa orang dari kalian yang bisa melakukannya? Kita harus belajar untuk bersabar dan mengalah kepada orang lain, karena mereka tidak membina diri seperti kita, mereka hanya manusia biasa, sedangkan Anda adalah orang yang sudah membina diri, Anda mengetahui bahwa diri Anda sendiri adalah “jia wo” (假我) – aku yang palsu, maka jangan menganggapnya sebagai sesuatu yang nyata. Apa yang membuat seseorang dihormati orang lain, itu dilihat dari kualitas diri (tutur kata dan perilaku) orang tersebut. Mengapa disebut sebagai “xiu xin” (修心) – pembinaan pikiran dan “xiu xing” (修行) – pembinaan diri, karena ini adalah pembinaan dalam berbicara dan bersikap, termasuk cara berpikir.

Kehidupan seseorang harus memiliki hubungan dengan kehidupan orang yang lain, barulah hidupnya bisa berarti, ada dia baru ada kamu, ada kamu baru ada saya, ada saya baruada dia, sebenarnya ini semua adalah sebuah siklus. Jika perasaan orang yang satu dengan yang lain tidak berhubungan sama sekali, maka orang ini tidak akan bisa hidup di dunia ini. Seperti bila seseorang tidak bisa menerima semua orang, tidak memiliki teman, tidak akur dengan orang tua, tidak akur dengan anaknya, tidak rukun dengan teman, tidak berhubungan dengan siapa pun juga, maka menurut kalian, apakah hidupnya di dunia ini masih ada artinya? Oleh karena itu dikatakan, manusia yang satu dengan yang lainnya adalah satu kesatuan, dari segi metafisika sebenarnya manusia itu sendiri berasal dari satu jiwa utama yang sama.

Pada awalnya, semua orang itu hidup bersama-sama, maka kita harus saling mengasihi dan saling membantu, meskipun mengetahui kekurangan orang lain, asalkan yang Anda lakukan demi kebaikannya, maka jangan takut dia tidak akan mengerti. Selain itu, segala benda yang ada di dunia ini sebenarnya berhubungan erat dengan semua fenomena di dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, semua benda yang ada di dunia ini memiliki perasaan dan pikiran. Kita sebagai manusia memiliki perasaan dan pikiran, demikian juga dengan tumbuhan. Contohnya: semangka rela tumbuh untuk dimakan oleh Anda. Sayuran juga bersedia tumbuh dan rela untuk Anda makan, agar Anda bisa memperoleh nutrisi, memangnya tumbuhan tidak bernyawa? Akan tetapi setelah tumbuh-tumbuhan ini Anda manfaatkan, maka nyawanya akan menjadi lebih berarti. Oleh karena itu, manusia dan segala benda yang ada di dunia ini tercipta dengan makna hidupnya masing-masing, maka ingat, jangan menyia-nyiakan makanan, karena itu sama saja dengan tidak menghargai hidup. Membuang atau menyia- nyiakan makanan akan mengurangi pahala Anda. Banyak orang kaya yang berdana dalam jumlah besar, namun sangat perhitungan sewaktu mengeluarkan uang untuk dirinya sendiri, dan ini bukan berarti mereka pelit, melainkan menghargai pahala yang dimiliki. Karena mereka tahu, pahala ini tidak mudah untuk diperoleh.

Orang yang sudah tersadarkan tidak akan takut dalam menghadapi penderitaan. Pada setiap tingkat kesadaran, baik memperoleh ataupun kehilangan semuanya ditentukan oleh jodoh, tidak merasa terlampau gembira ataupun sedih, menjalaninya sesuai takdir, berubah dari seorang yang biasa menjadi seorang suci, maka pikirannya sudah menjadi pikiran seorang Buddha.

Orang yang sudah tersadarkan tidak akan takut menghadapi kesulitan atau penderitaan. Seseorang yang sudah tersadarkan, sewaktu mengalami kesulitan atau penderitaan, dia tidak akan merasa takut atau risau. Karena dia sudah menyadari makna sebenar-nya dari Ajaran Buddha Dharma, dia mengerti bahwa manusia pasti akan mengalami penderitaan, manusia terlahir di dunia ini untuk mengalami penderitaan seumur hidupnya,

“Penderitaan yang saya hadapi ini datang secara alami, yang memang sudah seharusnya saya alami”, maka dia tidak akan merasa khawatir dan menerima penderitaan itu dengan lapang dada. Orang yang masih merasa khawatir hanyalah orang yang masih belum tersadarkan.

Manusia seharusnya menjalani hidup sesuai dengan jodoh, menggunakan cara yang terbaik untuk me-nyempurnakan jodoh ini. Orang yang masih melekat (atau keras kepala) tidak akan bisa hidup sesuai dengan takdir atau jodohnya. Jika menghadapi suatu masalah, jangan merasa terlalu senang juga terlalu sedih. Perasaan senang atau sedih ini datang dari pemikiran “Apakah saya dihargai atau tidak”. Jika Anda memandang penting sesuatu hal, maka pemikiran ini akan membuat beban pikiran Anda bertambah; namun apabila beban itu berkurang, maka Anda tidak akan merasakan apa pun juga. Orang yang benar-benar membina diri dengan baik, maka Alam Akhirat pun juga akan melancarkan jodohnya.

“Dari seorang yang biasa berubah menjadi seorang yang suci”, berarti meminta kita untuk berubah menjadi orang suci. Sebagai manusia biasa, kita akan merasa khawatir dan tamak akan segala hal. Semua orang tahu bahwa Konfusius (Kong Fu Zi) dari Tiongkok adalah orang suci, yang dia ajarkan dan wariskan adalah Kebudayaan Tiongkok. Satu ciri khas yang penting dari orang suci adalah bisa memaafkan orang lain, dan bisa memaafkan orang lain sebenarnya adalah permulaan munculnya perasaan welas asih, apabila tidak bersedia memaafkan orang lain, maka bagaimana bisa tumbuh rasa welas asih? Bila tidak bisa memaafkan seseorang, maka dia pasti akan membenci orang itu, dengan adanya kebencian maka tidak akan tumbuh perasaan welas asih

Memiliki pikiran seperti Buddha (berhati Buddha). Perkataan ini memiliki makna yang teramat luas, dengan kata lain dikatakan bahwa pikiran Anda jangan terpengaruh oleh dunia luar. Jika pikiran ini sudah seperti Buddha, maka Anda sudah menjadi seorang Buddha; jika Anda berpikir seperti iblis, maka Anda juga akan menjadi iblis.

Harus menghargai rasa percaya diri, bagaimana cara mempertahankan kepercayaan diri seseorang? Kamu sendiri harus menghormati rasa percaya dirimu sendiri, bukan mengandalkan penghormatan yang diberikan orang lain, harus kamu sendiri yang menghormati rasa percaya diri itu. Seseorang yang tidak percaya akan dirinya sendiri, bagaimana mungkin bisa melakukan kebaikan? Orang yang tidak memiliki rasa percaya diri, bagaimana mungkin bisa menekuni Ajaran Buddha Dharma dengan baik? Hari ini mendengar perkataan orang yang ini, Anda merasa yang dikatakannya masuk akal; besok mendengar perkataan orang yang lain, Anda juga merasa yang dikatakan orang ini benar, pada akhirnya

Anda tidak akan bisa meraih keberhasilan dalam hal apa pun. Kemampuan seseorang itu terbatas, sepanjang hidupnya dia hanya bisa mendalami satu Pintu Dharma saja baru bisa ada kemajuan. Jika dia ingin menekuni semua Pintu Dharma (aliran), maka pada akhirnya dia tidak akan bisa mencapai apa pun, malah terkadang akan terjadi penyimpangan yang menjadikannya iblis. Maka dari itu, kita harus menghargai kepercayaan diri Anda sendiri, dan bertekad untuk membina diri dengan baik.

Fang bian jiu shi jiu jing” (方便就是究竟) – menggunakan upāya (cara-cara yang baik) untuk menemukan jalan kebenaran. “Fang bian” (方便) di sini tidak sama dengan makna kata yang biasa yang kita pergunakan pada umumnya yaitu kemudahan, namun pada hakekatnya lebih merujuk pada suatu “cara”, dan cara yang bersifat fleksibel ini, dinamakan dengan “fang bian”.