Menekuni Dharma adalah Menyelaraskan Pikiran
Master memberitahukan kepada kalian, “Tidak melakukan segala bentuk kejahatan adalah menjalankan sila”. Karena saya tidak melakukan kejahatan apapun, tidak melakukan segala perbuatan buruk, maka berarti saya sudah menaati sila. “Mengamalkan segala kebajikan dipandang sebagai kebijaksanaan”. Mengamalkan segala kebajikan dipandang sebagai kebijaksanaan, dengan kata lain, jika kamu sering melakukan perbuatan baik, sering membantu orang lain, maka kamu ini pasti memiliki kebijaksanaan. Karena hanya orang yang memiliki kebijaksanaan baru terpikirkan untuk membantu orang lain, sedangkan orang yang egois tidak memiliki kebijaksanaan. Orang yang hanya memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan orang lain, tidak akan memiliki kebijaksanaan. Misalnya, orang yang hanya memikirkan diri sendiri, baik dalam berbisnis, maupun dalam bersikap dan berperilaku, dia tidak akan mendapatkan bantuan dari orang lain. Hanya orang yang sering membantu orang lain, orang ini barulah orang yang memiliki kebijaksanaan. Oleh karena itu, “mengamalkan segala kebajikan dipandang sebagai kebijaksanaan”, berarti memiliki kebijaksanaan. Jika kamu tidak melakukan kejahatan apapun, berarti orang ini adalah orang yang disiplin menjalankan sila. Orang yang tidak melakukan segala perbuatan buruk, bukankah berarti orang ini sudah menjalankan sila? “Membersihkan pemikiran sendiri disebut sebagai pemusatan pikiran”, ketiga kalimat ini harus kalian ingat baik-baik. Apa yang dimaksud dengan “membersihkan pemikiran sendiri”? Yakni orang ini bisa membuat pemikirannya menjadi sangat bersih, maka perkataan yang diucapkannya, hal yang dikerjakannya pasti juga bersih. Karena ketika ada satu pemikiran, satu pandangan atau satu pendapat yang muncul dalam dirimu, maka terlebih dahulu dirimu sudah“menyaring”nya, kamu bisa memikirkannya dengan sangat bersih, kalau begitu berarti pikiranmu sudah bisa tenang dan terpusat. Misalnya, saat kamu ingin melakukan suatu hal, “Hal ini boleh saya lakukan atau tidak?” Berpikir sejenak, “Boleh dilakukan”. Ya sudah, pikiranmu sudah tenang dan terpusat, saya tidak takut lagi, karena saya sendiri tahu kalau hal ini boleh dilakukan. Ini yang disebut sebagai membersihkan pemikiran sendiri. Membuat pemikiran diri sendiri menjadi sangat bersih, ini yang dinamakan “membersihkan pemikiran sendiri”. Oleh karena itu, harus memperjelas pemikiran sendiri, maka orang ini akan menjadi tenang. Misalnya, saya bersedia melakukan hal ini, saya sudah memikirkannya dengan matang, baik atau buruk hasilnya pun, saya bersedia menanggungnya, maka pikiran orang ini sudah menjadi tenang dan terpusat. Atau misalnya, menghadapi masalah ini saya sudah memiliki satu atau dua perangkat solusi, maka saat tiba-tiba terjadi suatu masalah yang tidak baik, dia sudah memikirkan tindakan apa yang seharusnya dilakukannya, kalau begitu pikiran orang ini sudah tenang dan terpusat.
“Membabarkan Dharma meninggalkan inti dasar, merupakan pembabaran rupa”. “Membabarkan Dharma meninggalkan inti dasar”, yakni Dharma apapun yang dibabarkan bila sudah meninggalkan sifat dasar dan intisari utama kamu, maka sesungguhnya kamu melakukan “pembabaran rupa”, yang berarti melekat pada rupa. Misalnya, hari ini Master mengajar kalian, jika Master membabarkan Dharma meninggalkan sifat dasar kalian, meninggalkan sifat Kebuddhaan kalian, ini yang disebut sebagai pembabaran Dharma yang meninggalkan inti dasar, ini menandakan bahwa Master telah melekat pada rupa. Misalnya, sudah jelas masalah ini, jika berdasarkan sifat dasar, itu adalah benar atau salah, akan tetapi saat Master membahasnya dengan kalian, berdasarkan keadaan masing-masing orang, maka sesungguhnya ini sudah merupakan pembabaran Dharma yang melekat pada rupa, berarti Master sudah melekat pada rupa. Apabila berdasarkan keadaan kamu ini untuk membahas masalah ini, adalah kemelekatan rupa. Jika dari konteks yang lebih luas, misalnya secara keseluruhan, hati nurani sesungguhnya baik atau tidak? Sesungguhnya manusia seharusnya melakukan kebaikan atau kejahatan? Ini adalah prinsip kebenaran yang paling penting, bukannya berdasarkan perilaku yang dilakukan orang tertentu, sebagai acuan penilaian saya terhadap masalah ini, apakah masalah ini benar atau salah, maka sama sekali tidak boleh meninggalkan sifat dasar. Oleh karena itu, harus diingat: jika seseorang membabarkan Dharma sudah meninggalkan sifat dasarnya sendiri, maka seperti yang barusan Master katakan, ini adalah pembabaran Dharma yang melekat pada rupa. Contoh sederhana: saat kamu menolong orang ini, dalam hatimu berpikir, “Saya ingin menolongnya, saya ingin meneladani Bodhisattva”. Ketika kamu duduk di sebelahnya dan berbicara kepadanya, berbincang-bincang sampai akhirnya dia menangis, dia memberitahumu: “Aduh, saya adalah orang yang memiliki penyakit menular, hari ini kamu begitu baik pada saya, datang menolong saya, saya benar-benar berterima kasih padamu.” Lalu kamu sedang bicara segera merasa takut, karena kamu takut penyakitnya menular padamu. Bukankah ini berarti melekat pada rupa? Berarti kamu sudah meninggalkan sifat dasarmu. Kamu seharusnya tahu, kita walaupun pada prinsipnya menggunakan cara tepat yang baik dalam menolong orang lain, akan tetapi jika ada Bodhisattva pada dirimu, maka saat kamu menolongnya, kamu belum tentu akan tertular penyakitnya. Kamu bisa bertanya kepada dokter manapun, ada sebagian orang yang walaupun sudah berjarak jauh tetap bisa tertular, namun ada sebagian orang yang hidup dengannya malah tidak tertular, karena kualitas tubuh manusia pada dasarnya tidak sama. Misalnya ada sebagian orang yang begitu masuk angin bisa langsung flu, namun ada juga sebagian orang yang kekebalan tubuhnya bagus, maka tidak mudah masuk angin dan terkena flu. Oleh karena itu, dalam menekuni Dharma, dalam bersikap dan berperilaku, dan sewaktu menolong orang lain, tidak boleh melekat pada rupa. Tidak boleh karena dia adalah gadis yang cantik maka saya berbicara lebih banyak kepadanya, atau karena dia adalah seorang paman tua atau ibu-ibu tua, maka saya tidak memedulikannya. Ini pada dasarnya disebut sebagai kemelekatan rupa. Oleh karena itu, Master beritahu kalian, apabila seseorang yang memiliki kemelekatan rupa pergi menyebarkan ajaran Dharma kepada orang-orang, maka sifat alaminya sendiri atau svabhava akan tersesat, dengan kata lain, karakter alaminya pelan-pelan akan semakin tersesat, karena dia tidak memiliki karakter sendiri. Bodhisattva dalam menolong orang-orang adalah menolong setiap orang. Akan tetapi kamu menolong orang, kamu melihat siapa yang akan ditolong. Karena dia kaya, karena anak perempuan ini cantik atau pria ini tampan, maka kamu memperkenalkan Dharma kepadanya. Kalian kira kalian tidak begitu? Di sini ada satu anak perempuan yang menyukai satu orang, lalu membawa pria ini dari luar untuk memperkenalkan Dharma kepadanya. Melekat pada rupa tidak? Dengan begitu kamu akan tersesat, begitu melekat pada rupa dalam membabarkan Dharma, kamu akan tersesat, kamu akan bertolak belakang dengan kebenaran.
Segala dharma-fenomena muncul dari sifat alami sendiri. Segala dharma-fenomena yang ada di dunia ini, bermula dari sifat alami sendiri. Sifat alami adalah sifat dasar, sifat dasar adalah hati nurani. Oleh karena itu, kamu ingin menolong orang lain dan melakukan perbuatan baik, semuanya menggunakan hati nuranimu sendiri untuk merasakan, apakah kamu ini benar-benar memiliki sifat Kebuddhaan. Menggunakan istilah yang lebih sederhana, berarti hati nurani adalah sifat dasar. Mengapa orang mengatakan, hal-hal yang dipandang hingga ke dasarnya disebut sebagai hati nurani? Apakah kamu punya konsep pandangan dan naluri yang baik? Konsep pandangan dan naluri yang baik adalah sesuatu yang terbagi dari sifat dasar. Oleh karena itu, kalian harus memahami bahwa, kita harus membuka kesadaran dan menjalankan praktik dari sifat dasar, itu barulah kebijaksanaan yang benar dan sesuai sila. Maksud dari perkataan ini adalah, kita harus menyadarkan diri sendiri dari konsep pandangan dan naluri baik yang sesungguhnya. Tersadarkan berarti memahami. Misalnya, saya tidak boleh melakukan hal ini, jika saya melakukannya, saya akan menyakitinya, kalau begitu jangan dilakukan. Saya tidak boleh mengambil barang ini, karena kalau saya mengambilnya, orang lain tidak akan kedapatan. Konsep pandangan baik dan naluri baik dirimu sendiri, serta kekuatan dan kebijaksanaanmu membuat kamu tidak melakukan hal ini, kalau begitu akan tumbuh sila-konsentrasi-kebijaksanaan pada dirimu. Menjalankan sila atau berpantang berarti tidak melakukannya. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, kita harus tersadarkan dan mempraktikkannya, bagaimana kita mempraktikkannya, ini sangat penting.
Pikiran yang terbebas dari pemikiran negatif adalah pengamalan sila dalam sifat dasar sendiri. “Sifat dasar tanpa pemikiran negatif”, dengan kata lain dalam sifat dasar tiada benar-salah. Dalam hatimu, tidak ada “Ini yang benar, itu yang salah”, berarti kamu sudah menaati sila. Terhadap masalah ini, pikiranmu tidak mengatakan, “Dia yang benar”, juga tidak mengatakan, “Dia yang salah”, bukankah berarti kamu sudah berhasil menjalankan sila? Darimana ketamakan datang? Jika kamu merasa kalau hal ini benar, maka kamu akan menjadi tamak. “Sudah seharusnya saya yang ambil”, bukankah berarti kamu sudah tamak? “Dalam masalah ini, sudah jelas dia yang salah, mengapa saya yang disalahkan?” Kamu sudah membenci. “Saya juga bisa melakukan hal ini, dia bisa menjadi perdana menteri, saya juga bisa!” Kamu sudah menjadi bodoh. Oleh karena itu, pada dasarnya dalam hatimu terdapat substansi campuran ini, sedangkan keberadaan substansi campuran ini dalam pikiranmu membuat hatimu merasa tidak tenang. Substansi campuran adalah motif negatif kamu. Karena dalam pikiranmu terdapat benar salah, ada “ya” dan “tidak”, maka kamu pun tidak bisa menaati sila, kamu tidak bisa berpantang. Oleh karena itu, Bodhisattva menggunakan satu ucapan bisa menembus pikiran kita orang-orang fana, yaitu “Pikiran yang terbebas dari pemikiran negatif adalah pengamalan sila dalam sifat dasar sendiri”. Misalnya, dalam hal ini, dia telah melakukan kesalahan, kamu merasa, “Aduh, saya juga ada salah”. Dalam hal ini, anak tidak berbuat benar, “Aduh, ini adalah jalan yang harus dilalui anak dalam hidupnya”. Sesungguhnya, berarti kamu sudah mengamalkan sila, kamu sudah menghentikan kebencian hatimu. Sebelumnya kamu sangat membenci anak, “Mengapa salah lagi? Mengapa melakukan kesalahan lagi?” Sedangkan sekarang kamu merasa tidak memiliki benar-salah, anak tidak bersalah. “Putri saya mungkin masih kecil, dan menghadapi masalah seperti ini, saya harus bisa memaafkannya.” Kamu merasa hal ini tidak ada benar-salah, ini adalah halangan yang seharusnya dihadapi oleh anak dalam hidupnya, nantinya pasti akan berubah. Bukankah berarti kamu sudah menjalankan sila? Kamu sendiri yang sudah berpantang, bukan berpantang pada dirinya, dirimu sendiri yang sudah tidak benci lagi. Jika melihat putri sendiri, “Paling bagus mencari orang kaya”, begitu muncul ketamakan ini, bagaimana kamu bisa menaati sila? Karena kamu merasa, “Benar, kaya itu bagus”, “benar” sudah datang, maka selanjutnya akan ada “salah”. “Benar, harus mencari jodoh orang kaya, saya ingin menikah dengannya.” Ya sudah, begitu kamu memiliki ketamakan seperti ini, bagaimana kamu bisa menjalankan sila? Oleh karena itu satu ucapan Bodhisattva merangkum semuanya – “Pikiran yang terbebas dari pemikiran negatif adalah pengamalan sila dalam sifat dasar sendiri”.
Pikiran tanpa halangan adalah bentuk kebijaksanaan dalam sifat dasar. Jika kamu tidak memiliki halangan dalam pikiran, maka akan mekar bunga kebijaksanaan dalam sifat dasarmu. Contoh sederhana, di rumahmu menanam sebuah pohon, jika di atas pohon terhalangi dengan sebuah tembok batu bata, maka pohon kamu ini tidak akan bisa tumbuh ke atas, hanya bisa tumbuh ke samping, karena dia memiliki halangan. Jika hari ini kamu menanam sebuah pohon, sifat alaminya tiada halangan, maka dia pasti bisa tumbuh ke atas, ditambah cahaya matahari dan air, maka dia bisa tumbuh dengan lebat. Dari mana kebijaksanaan datang? Anak yang sering membiarkan jiwanya terhalangi tidak akan memiliki kebijaksanaan. Coba kamu lihat, mengapa anak bisa autis? Bukankah karena ayah dan ibunya sering bertengkar? Apakah karena dari kecil keluarganya kekurangan makanan dan air? Apakah karena sejak kecil dia mengalami banyak halangan, ayahnya tidak peduli padanya, ibunya tidak peduli padanya, atau keluarganya menghadapi masalah tertentu? Anak ini tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Dia tidak bisa tumbuh dewasa dengan alami, ini yang disebut pikiran memiliki halangan, bagaimana bisa tumbuh kebijaksanaan dalam dirinya? Coba kamu lihat “orang bodoh” yang menderita penyakit kejiwaan, karena semenjak kecil dalam hidupnya ada halangan, baru membuatnya tidak memiliki kebijaksanaan ini. Apabila seseorang hidupnya lancar, tidak ada halangan dalam pikirannya, bagaimana mungkin dia tidak memiliki kebijaksanaan? Orang yang tidak bisa berpikiran terbuka bagaimana mungkin memiliki kebijaksanaan? Ketiga kata ini memberitahumu, “xiang bu tong – tidak bisa berpikiran terbuka”, memangnya bisa memiliki kebijaksanaan? Orang yang memiliki kebijaksanaan apakah akan berpikiran buntu? Orang yang berpikiran terbuka akan memiliki kebijaksanaan, orang yang berpikiran buntu justru tidak memiliki kebijaksanaan. Apabila semasa muda, kamu mengalami banyak penderitaan, sekarang kamu sudah berpikiran terbuka, karena sudah terbuka pikirannya, maka disebut memiliki kebijaksanaan. Sederhana saja, jika hari ini kamu masih berpikiran buntu terhadap banyak hal, berarti kamu tidak memiliki kebijaksanaan. Jika seseorang sampai pada akhir hayatnya bisa berpikiran terbuka, “Aduh, ternyata kehidupan ini berakhir begitu saja”. Baru saja berpikiran terbuka, kamu baru saja memiliki kebijaksanaan, tetapi sudah terlambat. Coba pikirkan, terhadap masa lalu kita, “Mengapa saya tidak dari dulu begini? Mengapa saya tidak lebih awal melepas, coba lihat tubuh saya jadi begini karena bekerja mati-matian, mengapa pada saat itu saya masih terus-menerus bekerja?” Sebanyak apapun uang seseorang, bukankah juga hanya sebuah ranjang dan semangkuk nasi? Berpikiranlah lebih terbuka. Jika demi anak, berarti hutangmu, jika demi diri sendiri, itu tandanya egois. Oleh karena itu, baik demi siapapun juga tidak boleh demi diri sendiri. Demi kebaikan semua makhluk adalah hal baik, kalau demi diri sendiri, itu tidak baik. Akan tetapi, jika kalimat ini kita balikkan, kamu demi semua makhluk bukankah juga demi dirimu sendiri? Coba kamu pikirkan, seseorang yang sepanjang waktu memikirkan orang lain, apakah keadaan orang ini tidak baik? Orang ini pasti akan hidup dengan sangat lancar, pasti akan hidup dengan sangat senang. Karena dia baik terhadap semua orang, maka semua orang akan baik kepadanya, ke mana pun dia pergi akan disambut orang-orang. Dalam kehidupan ini, ada orang yang sepanjang hari membantu ini, membantu itu, maka setiap panggilannya akan selalu mendapatkan respon. Oleh karena itu, kalian akan mengerti setelah memikirkannya, baru saja Master membahas, “Pikiran tanpa halangan adalah bentuk kebijaksanaan dalam sifat dasar”, jika tidak ada kebodohan dalam pikirannya, berarti dia memiliki kebijaksanaan. Semakin banyak kebodohan maka semakin sedikit kebijaksanaan, semakin sedikit kebodohan maka semakin banyak kebijaksanaan. Dari mana kebodohan berasal? Karena berpikiran buntu, memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dipikirkan. Merasa alangkah bagusnya jika melihat barang milik orang lain bisa menjadi milik diri sendiri, itu adalah kebodohan.