30. Membaca {Sutra Hati – Xin Jing}, Membahas “Rupa adalah Kosong, Kosong adalah Rupa” 读《心经》谈“色即是空,空即是色”

30. Membaca {Sutra Hati – Xin Jing}, Membahas “Rupa adalah Kosong, Kosong adalah Rupa”

Tahukah kalian, orang keturunan Tionghoa dari Jepang yang datang waktu yang lalu, dia sangat suka mendengarkan pembahasan Master mengenai {Sutra Hati} atau {Xin Jing}. Akan tetapi {Xin Jing} bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan oleh orang-orang pada umumnya. Ada seorang murid yang setiap hari membaca buku {Bai Hua Fo Fa} Master, berkata: “Jika ingin didalami bisa mendalaminya lebih dalam, jika dibaca secara dangkal bisa dipahami dengan lebih sederhana, makna yang Master bahas di dalamnya benar-benar sangat mendalam.” Sesungguhnya, ini sama dengan pemahaman kita terhadap {Xin Jing} dan {Da Bei Zhou}, serta banyak paritta lainnya. Orang yang bisa membahas paritta, orang ini mesti seorang Bodhisattva. Banyak biksu-biksu besar – Mahaguru, mereka mungkin di kehidupan sebelumnya adalah Bodhisattva yang kembali lahir ke dunia, maka mereka mampu membahasnya. Akan tetapi bukan semua biksu mampu menjelaskan paritta, jika salah menjabarkan bisa menciptakan karma ucapan.

 

Pembahasan paritta yang Master berikan kepada kalian, digabungkan dengan ajaran Buddha Dharma dalam bahasa sehari-hari di Alam Manusia, maka bisa sering membahas tentang materi-materi yang ada di dalam {Xin Jing}. Tujuan utama Master adalah supaya kalian mampu menyelami dan menguasainya dengan baik, agar kalian mampu memahami {Xin Jing}. Dengan menggunakan beberapa kalimat di dalam {Xin Jing}, Master bisa membahas tentang prinsip kebenaran di alam semesta ini kepada kalian. Contoh sederhana: di dalam {Xin Jing}, kalian bisa membaca satu kalimat “se ji shi kong, kong ji shi se” (rupa adalah kosong, kosong adalah rupa). Master suka menggunakan perumpamaan dalam penjelasan untuk kalian, misalnya, “kong ji shi se” – kosong adalah rupa. Apabila benda ini adalah benda yang kosong, akan tetapi dia ada atau tidak? Ada, misalnya bakteri. Kamu mengatakan kalau kita manusia adalah kosong, setelah kita meninggal bukankah kita adalah kosong, kalau begitu, saat kita masih hidup, memangnya kita bukan manusia? Master memberikan satu perbandingan: satu “muyu” – ikan kayu, satu bongkah kayu, dia kosong bukan, akan tetapi saat diketuk, dia – “muyu” ini bisa bersuara “tok tok”, dia memiliki suara. Apakah dia kosong? Kosong. Lalu mengapa bisa mengeluarkan suara saat dipukul? Karena dia memiliki keberadaan wujud yang nyata, itu seperti perkataan “kosong adalah rupa”.

 

Sama saja, jika kita membahas apa itu “rupa adalah kosong”? Coba kalian pikirkan, suatu benda yang nyata, seperti contoh yang baru saja saya katakan: kayu itu kosong, namun mendengar suaranya, kedengarannya nyata. Akan tetapi sebaliknya, jika saya mengumpamakan kayu ini sebagai “rupa”, yakni seluruh makhluk hidup di dunia ini. “Rupa” ini adalah kayu, dia memiliki inti yang padat, apakah itu kayu? Apakah masih bisa bersuara? Tidak bisa bersuara. Oleh karena itu, saya katakan pada kalian: segala hal yang dilihat oleh mata kalian, semua yang didengar oleh telinga kalian, kelihatannya seperti terdengar atau terlihat, namun sesungguhnya semuanya itu kosong. Sebenarnya di sini tergantung dari kesadaran pemikiranmu. Apakah kesadaran pemikiran di sini? Itu adalah tingkat kesadaran spiritual dalam pemikiranmu. Seseorang yang memiliki kesadaran pemikiran yang tinggi, akan berpandangan yang jauh, seseorang yang memiliki pandangan yang jauh baru bisa mengetahui apa yang bisa dilakukannya pada saat ini dan di masa depan.

 

“Rupa adalah kosong”, bisa dijelaskan bahwa semenjak kecil dari saat dirimu dilahirkan, kamu sudah mengerti bahwa, “Pada satu hari nanti saya pasti akan mati. Dengan waktu yang singkat di dunia ini, apa yang bisa saya lakukan?” Kalau begitu, maka sesungguhnya orang ini sudah melihat bahwa “rupa adalah kosong”. Sebaliknya, “kosong adalah rupa”, apa maksudnya? Dengan kata lain melihat kebenaran yang sesungguhnya dari masalah ini. Melihat kebenaran dari dunia fana ini bukankah sama dengan sudah melihat kekosongan? Saya sudah berpikiran terbuka, saya sudah berpikiran jernih, saya tidak memiliki keinginan apapun pada dunia ini, tidak ada benda apapun yang saya pikirkan, saya tidak mau apa-apa lagi. Namun sesungguhnya, masih tetap terdapat keberadaan satu benda. Contoh sederhana: kamu merasa pernikahan ini tidak ada artinya, akan tetapi kamu punya anak, kamu masih memiliki keluarga ini. Bukankah ini berarti “kosong” adalah “rupa”? Lalu apa itu “rupa”? Yaitu suatu siklus perputaran. Misalnya, ketika kalian bertengkar, kamu berpikir sebaiknya dia cepat mati saja, namun jika dia tiba-tiba terbaring sakit, kamu pasti tidak rela juga; sewaktu kamu membencinya, kamu bisa mengatakan, “Saya benci sekali padanya”, akan tetapi begitu dia tertimpa musibah atau masalah, kamu dalam hati pasti mengkhawatirkannya, tidak bisa melepaskannya… coba kamu pikir, bukankah ini sama dengan “kosong” adalah “rupa”? Oleh karena itu, perasaan antara orang yang satu dengan yang lain jangan sembarangan dilampaui – ini pesan Master pada kalian, jika perasaan ini sudah melampaui suatu batas perasaan tertentu, pasti akan menjadi halangan bagi kalian. Jika semuanya hanya dalam sifat Kebuddhaan, contohnya cinta universal Dharma, jika kalian tidak melampauinya, maka hati kalian tidak akan tergerak; namun sekali saja kalian melampauinya, memasukkan perasaan pribadi kalian di dalamnya, maka begitu dia bermasalah, maaf saja, kamu akan berubah menjadi “kosong adalah rupa”. Ini sangat tidak mudah untuk dipahami. Contoh: kalian pernah melihat dalam {Kisah Perjalanan ke Barat}, Sun Wu Kong bisa berubah untuk menyembunyikan dirinya (tidak kelihatan). Ketika dia berubah menjadi seekor lalat, lalu melihat Biksu Tang ditangkap oleh siluman, begitu dia panik, maka dia langsung menampakkan wujud aslinya. Sama saja seperti kalian sekarang, di luar mengatakan, “Saya sudah menyadari kebenarannya, saya tidak memusingkan keluarga ini lagi, anak-anak juga sudah besar, saya sudah bisa tenang”. Apakah kamu benar-benar bisa tenang? Apakah kamu benar-benar bisa melepaskan keluarga ini? Walaupun anak sudah besar, tetapi kamu masih tetap memikirkannya, bahkan jika muncul penyakit pada tubuhmu, apakah kamu bisa melepaskannya (tidak memikirkannya)? Kamu masih belum bisa.

 

Kita dalam memandang dunia ini, harus memahami apa itu “perasaan, pikiran, tindakan, kesadaran”. Apakah yang dimaksud dengan “perasaan – pikiran – tindakan – kesadaran”? Yakni sesuatu yang bisa kamu rasakan, yang bisa kamu pikirkan, yang kamu lakukan, dan kesadaran yang kamu miliki. Seluruh “perasaan, pikiran, tindakan, kesadaran” ini semuanya tidak lain adalah kosong, apa maksudnya? Yakni, seluruh perasaan – pikiran – tindakan – kesadaran ini semuanya adalah kosong. Dengan kata lain, dengan pikiranmu, kamu bisa memikirkan sesuatu yang nyata, yang kamu rasakan juga adalah sesuatu yang nyata, benda yang kamu miliki juga adalah benda yang nyata, akan tetapi kepemilikan ini hanya bersifat sementara, karena kamu adalah tubuh dari perpaduan lima agregat yang palsu (kelima agregat kamu semuanya adalah kosong). Contoh sederhana: jika kamu manusia adalah sesuatu yang palsu, maka seluruh benda yang kamu miliki, menurut kamu palsu atau nyata? Bukankah semuanya juga adalah palsu? Apel atau pisang yang kamu beli, lalu kamu berikan kepada boneka makan, seperti saat kita masih kecil suka bermain boneka (misalnya boneka ini bernama Nizi). “Nizi, saya potongkan apel untukmu, saya beri kamu makan pisang.” Menurut kamu, apakah boneka ini bisa makan? Karena manusia adalah perpaduan dari kelima agregat, pada dasarnya adalah kosong, maka segala sesuatu yang dimiliki manusia semuanya adalah kosong. Boneka ini adalah kosong, maka apel ini dan pisang ini juga adalah kosong. Karena sesuatu yang muncul dari pikiranmu, karena pada dasarnya kamu manusia juga adalah kosong, maka yang muncul dari pikiranmu juga adalah kosong, ini yang disebut sebagai pikiran yang kosong. Mengerti tidak? Karena kamu manusia pun sudah tidak ada lagi, maka bukankah yang keluar dari pikiranmu juga adalah pikiran yang kosong? Manusia ini – kamu ini sudah tidak ada, maka pemikiranmu yang muncul bukankah juga adalah pemikiran yang kosong? Karena ini pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ada.

 

“Kelima agregat adalah kosong”, sesungguhnya disebut sebagai “tidak memikirkan bukanlah tidak terpikirkan, tidak memikirkan bukan tiada pemikiran”. Apa maksudnya? Saya tidak memikirkannya – bukan tiada pemikiran, akan tetapi bukan berarti saya tidak memikirkannya. Inilah ilmu filsafat, inilah filosofi. Saya akan kembali memberikan contoh untuk kalian: misalnya, biasanya saat mengadakan pesta, banyak makanan yang sudah dihidangkan di meja, saat kamu lapar, namun orang-orang masih belum mulai makan, pada saat itu, kamu pasti sangat ingin makan bukan? Akan tetapi, saya tidak memikirkannya. Karena semua orang belum makan, maka saya tidak mungkin seorang diri makan duluan. Ini yang disebut sebagai “tidak memikirkan”. Sedangkan “bukan tiada pemikiran”, dengan kata lain, bukan dikatakan kalau tidak terpikirkan oleh saya untuk pergi makan, saya pernah memikirkannya, akan tetapi saya tidak lagi memikirkannya. Lalu sesungguhnya kamu memikirkannya atau tidak? Sudah memikirkannya, tetapi kemudian saya tidak lagi memikirkannya, itu sama dengan tidak memikirkannya. Teori ajaran Buddha Dharma tidaklah bisa dijelaskan dengan baik dengan satu atau dua kalimat, semuanya adalah ilmu filsafat, sangat mendalam. Kamu harus memiliki pemahaman tingkat tinggi terhadap filsafat kehidupan manusia, kamu baru bisa memahami ajaran Buddha Dharma. Bukan setiap orang mampu memahami ajaran Buddha Dharma. Dulu pembahasan Master untuk kalian tidak mendalam, karena kalian dulu belum pernah mengenal ajaran Buddha Dharma.

 

Terkadang kita berpikir, namun sepertinya sama seperti tidak berpikir. Misalnya, kita terkadang bertengkar, saat lawan bicara kamu memarahimu, lalu dalam hatimu balas memarahinya. Tetapi apakah kamu memikirkannya? Kamu sudah memikirkannya, namun kamu tidak mengucapkannya keluar, lalu kamu tidak lagi memikirkannya, ini dinamakan “bukan tiada pemikiran”. Sedangkan sesungguhnya, dalam hati, kamu sudah balas memarahinya, kamu sudah melaluinya, kamu sudah merasa nyaman, maka kamu jangan lagi melontarkannya keluar melalui mulut. Memangnya tidak boleh? Mengapa kamu harus mengucapkan perkataan marah kamu keluar? Ada sebagian orang yang sudah cukup puas dengan memarahi dalam hati. Biasanya, orang-orang dengan kesadaran spiritual yang lebih tinggi, misalnya kalau kamu melakukan kesalahan padanya, mungkin mulutnya mengatakan, “tidak apa-apa, tidak apa-apa”, namun dalam hati mungkin dia sedang memarahimu, akan tetapi mulutnya selamanya tidak akan marah keluar. Orang yang seperti ini dinamakan menjaga mulut, yaitu menjaga mulut sendiri dengan sangat ketat. Ini juga merupakan suatu bentuk pembinaan diri. Jika orang ini tidak bisa menahan dirinya, disebut tidak memiliki pembinaan diri, harus marah-marah di mulut, maka orang seperti ini adalah orang yang levelnya sangat rendah. Jika kamu memang hebat, apa yang sudah dipikirkan dalam hati jangan diucapkan keluar. Sesuatu yang tidak kamu ucapkan, sesungguhnya adalah “tiada pemikiran adalah tidak memikirkannya”. Bukankah saya sudah memikirkannya? Saya sudah pernah memikirkannya, tetapi saya tidak mengucapkannya keluar, maka itu sama dengan tidak memikirkannya, maka masalah kamu ini baru bisa berlalu. Perkataan yang mulutmu ucapkan, seperti yang sering orang-orang katakan, “Bagai air yang dibuang keluar, tidak bisa ditarik kembali”. Misalnya saat bertengkar, satu ucapan yang kamu “lontarkan” keluar tidak akan bisa kamu tarik kembali, kemudian kamu hanya bisa memukul diri sendiri – karena menyesal. Ada sebagian orang di antara kalian yang sekarang sepenuhnya mampu memahami konsep yang Master katakan ini, karena mulut kamu sering kali tidak mengenali “benda – ucapan” yang dikeluarkannya, “puah” satu kalimat terucap keluar, “Ah, memangnya saya berkata begitu? Maaf ya, maaf”, namun perkataan yang mulutmu ucapkan sudah keluar pintu, sudah tidak bisa ditarik kembali. Maka setelah kamu memiliki pembinaan diri, terhadap orang-orang yang tidak baik padamu, cukup pikirkan dalam hati saja, “Anak perempuan ini mengapa begini?” Kamu cukup tersenyum tidak usah bicara, bukankah bisa? Tunggu sampai pemikiranmu berlalu, menjadi “bukan tiada pemikiran”. Sesungguhnya, bukannya kamu tidak memikirkannya, akan tetapi “adalah bukan pemikiran” – saya tidak memikirkannya, kalau tidak diucapkan keluar sama dengan tidak memikirkannya, saya tidak mengambil tindakan, saya tidak melakukan aksi. Inilah bagaimana kita seharusnya bersikap dan berperilaku. Jika kita benar-benar menerapkan ajaran Buddha Dharma yang dipelajari ke dalam perilaku sehari-hari, maka orang ini pasti bisa berperilaku baik, dia pasti bisa menekuni Dharma dengan baik. Jika kelakuan orang ini tidak baik, maka pembelajaran Dharmanya pun juga pasti tidak baik. Inilah mengapa kalian setiap orang di sini harus tahu aturan, sopan dan santun. Hanya orang yang sopan santun, jujur dan tahu aturan baru bisa menekuni Dharma dengan baik. Jika orang yang di sini suka membual – ucapannya tidak bisa dipercaya, dan tidak berperilaku dengan baik, memangnya bisa menekuni Dharma dengan baik? Karena banyak orang yang setelah terpikir satu ucapan dalam benaknya, lalu saat orang lain bertanya padanya, “Memang saya pernah mengatakannya?”Sepertinya pernah, sepertinya pernah mengatakannya, namun sepertinya tidak pernah mengatakannya. Sesungguhnya sudah mengatakannya. Namun setelah dia memikirkannya, tetapi tidak mengucapkan keluar, sepertinya iya, namun sepertinya tidak, bukankah berarti kamu memikirkannya namun juga bukan tidak terpikirkan. Misalnya suami di rumah memarahimu, lalu dalam hatimu berpikir: “’Penyakit’ orang tua ini mengapa kembali kambuh? Apa dirasuki arwah asing?” Namun setelah memikirkannya apakah kamu mengucapkannya? Kamu sudah mengatakannya dalam hati, namun tidak diucapkan keluar, bukankah ini adalah “memikirkannya namun bukan tidak terpikirkan”?

 

Kalian harus ingat: harus setara, tidak boleh memiliki pikiran diskriminasi. Apa yang dimaksud dengan kesetaraan? Apa yang dimaksud dengan tidak memiliki pikiran diskriminasi? Tidak memiliki pikiran diskriminasi berarti kamu bisa memandang orang lain secara sama rata. Sekarang Master memandang kalian semua orang-orang yang duduk di bawah ini secara sama rata – umur kalian semuanya sama, jenis kelamin kalian semuanya sama, karakter kalian semuanya sama. Ini yang disebut sebagai kesetaraan pikiran. Saat Bodhisattva menyelamatkan orang, pertama-tama harus bisa memandang kalian semua sama rata. Akan tetapi dalam praktiknya, jika kalian melakukan banyak kesalahan, dan setelah kalian memohon kepada Bodhisattva lalu masih ingin melakukan kejahatan lagi, maka maaf saja, berarti kesetaraan pikiran ini, kamu sendiri yang memecahkannya terlebih dahulu, bukan Bodhisattva. Saat Bodhisattva ingin menolong orang-orang, semua orang sama rata. Contoh sederhana: hari ini Master menolong kalian, memandang kalian semua secara sama rata, semuanya adalah orang baik. Akan tetapi jika kalian tidak menghormati Master, tidak membina diri baik-baik, maka sesungguhnya berarti kalian sedang menghancurkan kesetaraan pikiran ini, berarti kalian sedang merusak kesetaraan pikiran yang dikatakan oleh Bodhisattva. Oleh karena itu, dengan tidak memiliki pikiran diskriminasi, baru bisa memiliki kesetaraan pikiran. Dengan kata lain, terhadap wanita atau pria yang saya lihat hari ini, saya bersikap sama; orang tua maupun anak muda yang saya lihat hari ini, saya bersikap sama. Karena kalian semua memiliki pikiran Buddha, semuanya adalah Bodhisattva, “Saya tidak memiliki pemikiran apapun”, ini baru disebut tidak memiliki pikiran diskriminasi. Lalu bagaimana cara mengatasi pikiran diskriminasi diri sendiri? Yakni kita harus merasa bahwa setiap orang sama rata. Kamu harus merasa bahwa hari ini semua orang yang duduk di sini semuanya sama, semua orang setara.