Seminar Dharma Singapura, 8 Maret 2014
Menyalakan Cahaya Hati dan Menerangi Sepuluh Alam Dharma (Bagian 1)
Terima kasih kepada Guan Shi Yin Pu Sa Yang Maha Welas Asih dan Maha Penyayang mencurahkan pemberkatan, kekuatan Dharma-Nya yang tak terbatas menyelamatkan semua makhluk. Membuat kita menjadi makhluk yang berjodoh di Periode Akhir Dharma, bersama-sama mendapatkan manfaat dari Dharma, dan dipenuhi sukacita Dharma. Hari ini adalah Hari Pelepasan Agung Sang Buddha kita yang mulia. Mari kita mengingat kembali Buddha Sakyamuni yang telah membawa Dharma yang luar biasa ke dunia. Terima kasih!
Terima kasih kepada Naga Langit Pelindung Dharma, para biksu terkemuka dan teman-teman se-Dharma dari seluruh dunia atas welas asihnya, sehingga segalanya di Surga dan dunia bisa damai, Seminar Dharma luar biasa. Ajaran Buddha Dharma telah menjadi panutan kita di dunia. Membuat kita terbebas dari kerisauan duniawi, menghargai kehidupan, selalu berwelas asih, menyatukan hati kita dengan Buddha, dan menjadi Bodhisattva di dunia.
Alasan mengapa orang menderita adalah karena mengejar hal-hal yang salah sepanjang hari. Segala hal yang salah akan menimbulkan rangsangan tertentu, jadi berhati-hatilah saat mengejar perilaku dan hal yang merangsang, karena mengejar ketenaran, kekayaan, dan keinginan materi akan menyakiti diri sendiri. Berharap semua orang harus melepaskan dan merelakan. Jangan pernah mengejar nafsu keinginan yang akan menyakiti atau telah menyakiti kita, sehingga kita tidak akan menyia-nyiakan hidup kita untuk hal-hal yang pasti akan kita sesali. Seperti satu botol yang sama, kita bisa mengisinya dengan makanan yang baik, juga bisa mengisinya dengan racun; sama seperti hati kita bisa mengisi kerisauan, juga bisa mengisi kebahagiaan. Berharap kita bisa menggunakan hati ini untuk mengisi welas asih dan sukacita Dharma, menyingkirkan kerisauan dan halangan karma buruk.
160.000 orang meninggalkan dunia ini setiap hari. Kamu masih hidup, maka harus menghargainya, karena suatu saat kamu mungkin bisa menjadi salah satu dari 160.000 orang ini. Kamu bahkan tidak berhak untuk cemburu, risau atau sedih. Mengapa kamu tidak langsung melepaskannya? Mengapa masih menggunakan hidupmu yang terbatas untuk mengejar pemikiran material yang membuatmu derita? Pikirkan di mana sekarang pengejaranmu saat masih muda? Apa yang orang tua kita peroleh dari upaya seumur hidup mereka untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka? Belajar Buddha Dharma harus tersadarkan, harus bisa berpikiran terbuka dan mengerti, harus belajar melepaskan. Karena kita tidak bisa membawa pergi apa pun, maka kita harus segera melepaskannya.
Sebenarnya, kebahagiaan maupun penderitaan manusia tidaklah abadi. Saat-saat bahagia akan berlalu dengan cepat, dan saat-saat sedih akan segera hilang. Ketika jodoh berakhir, segalanya di masa lalu menjadi gelembung mimpi. Orang yang mengejar masa lalu dan tidak bisa melupakannya akan selalu hidup dalam penderitaan. Orang yang berumur tua akan berkata, betapa baiknya orang lain memperlakukan saya dan menyanjung saya di masa lalu, tetapi sekarang mengapa anak-anak ini memperlakukan saya seperti ini, ini karena tidak bisa melepaskan. Masa lalu harus dibiarkan berlalu, dan tidak perlu selalu diingat. Kegagalan yang sesungguhnya bukanlah jatuh ke lantai, melainkan jatuh ke lantai dan tidak bangkit kembali. Kita harus bangkit. Masing-masing dari kita telah melakukan banyak kesalahan. Pikirkan kita dari muda sampai tua, kita telah menyakiti berapa banyak orang, menyinggung berapa banyak orang, mengatakan berapa banyak kata yang salah, berapa banyak rasa malu di dalam hati kita. Orang yang telah kita sakiti sangatlah banyak. Kita telah mengecewakan didikan dan pembinaan orang tua pada kita, mengecewakan pada guru atas nasihat dan bimbingannya. Tersesat di dunia fana yang bergejolak. Setiap hari mencari cara menjadi kaya, cara menjadi terkenal dan menguntungkan, semua ini adalah kosong. Kita harus pegang erat sifat dasar diri sendiri, membangun kepercayaan diri dengan benar dalam menekuni Dharma, dan tersadarkan dari kesalahan dalam hidup. Karena kita telah melakukan kesalahan, maka harus mengerti untuk tersadarkan. Hidup di dunia ini, jika tidak ada kesulitan, kita tidak akan menemukan ajaran Buddha Dharma yang mulia.
Kita berada di dunia ini adalah lahir tidak membawa apa-apa dan mati tidak membawa pergi apapun. Apa yang kita bawa? Apa yang bisa kita tinggalkan? Kita sendirian saat datang, dan sendirian saat meninggal. Hidup adalah dalam reinkarnasi, dan hidup sedang berlangsung. Hanya kehidupan praktisi Buddhis yang bernilai abadi. Hanya kehidupan praktisi Buddhis yang paling bermakna.
Harus selalu bertanya pada diri sendiri dengan tenang: “Apa yang saya kejar? Untuk apa saya hidup?” Penderitaan dan kebahagiaan di dunia ini hanya sementara. Jika kamu tidak memberikan kerisauan pada dirimu sendiri, orang lain tidak akan pernah punya kesempatan untuk memberikan kerisauan kepadamu. Harus mengendalikan hati dan emosi sendiri dengan baik. Kita merajut jaring setiap hari, orang yang mengejar uang perlahan-lahan akan terjebak dalam jaring uang, seperti banyak orang yang membeli saham akan terjebak oleh saham. Banyak orang terjebak oleh cinta karena terjerumus ke dalam hubungan asmara. Banyak orang terjebak oleh jodoh dan karir. Banyak orang terbelenggu oleh anak-anaknya dan pada akhirnya terikat oleh anak-anaknya. Ajaran Buddha Dharma sebenarnya adalah mengatasi masalah yang diganggu oleh kerisauan dalam perjalanan hidup. Tidak ada Buddha dalam hidup dan mati. Jika kamu masih hidup dan mati hari ini, maka kamu tidak memiliki Buddha di hati, kamu pasti akan bereinkarnasi di enam alam, selamanya tidak bisa terbebas dari penderitaan. Oleh karena itu, melampaui enam alam berarti membebaskan pemikiran diri sendiri, menggunakan pikiran diri sendiri untuk terhubung erat dengan Bodhisattva, menggunakan kebijaksanaan Bodhisattva untuk membebaskan kita yang sekarang, melepaskan adalah hidup di saat ini.
Orang selalu suka menganggap kesadarannya sendiri sebagai dirinya sendiri, namun nyatanya terkadang itu bukan dirimu sendiri. Banyak orang hidup dalam kesadaran, yaitu membayangkan sesuatu dan berpikir bahwa ini adalah saya, sehingga mereka dikendalikan oleh kesadaran. Pada dasarnya kamu tidak serakah, tetapi kamu melihat orang lain serakah, jadi kamu bergabung dengan tim serakah, ini adalah Aku yang palsu. Ketika banyak orang melihat orang lain mengantri, naluri alami mereka berkata, “Saya tidak peduli. Bagi saya, tidak masalah apakah ada sesuatu yang murah.” Tetapi ketika mereka melihat antrean semakin panjang, diri sendiri pun antri terdahulu dan kemudian bertanya kepada orang lain apa yang dia jual. Dia sudah mengantri tanpa mengetahui apapun. Kesadaran ini bukanlah jati diri yang sebenarnya, melainkan adalah kesadaran yang palsu, yaitu bentukan kesadaran diri manusia, yang dibentuk melalui hal dan perasaan orang lain. Misalnya, ingin keluar di pagi hari, tiba-tiba merasa di luar sangat dingin, dan muncul satu kesadaran: “Saya tidak akan pergi, hari ini minta izin saja!” Ini adalah kesadaranmu yang memerintahkan tubuhmu, sehingga terbentuk kesadaran Aku yang merasakan dingin. Banyak narapidana yang berkata ketika ditangkap, “Saya tidak tahu kenapa saya seperti ini, saya hanya impulsif sesaat” Ingat, impulsif adalah iblis. Kita harus memiliki sifat kebuddhaan di dalam hati setiap saat, sehingga sifat iblis akan berkurang. Harus melupakan Aku yang palsu dan membentuk Aku yang sebenarnya, itu barulah melupakan diri sendiri.
Nyalakan pelita hatimu untuk menerangi orang lain. Master sering berkata tentang bagaimana menjaga obor sendiri tetap menyala selamanya. Hanya dengan menyalakan obormu kepada setiap makhluk yang berjodoh di dunia, sifat Kebuddhaanmu dalam hati baru tidak akan pernah sirna.
Kita praktisi Buddhis harus memandang segala hal dalam dua sisi. Segala sesuatu mempunyai sisi positif dan sisi negatif, sehingga kita dapat mencapai keseimbangan psikologis. Banyak orang tidak bisa menggunakan keseimbangan psikologis untuk mempelajari ajaran Buddha Dharma. Kita telah menekuni Dharma hari ini. Kita tahu bagaimana menghargai kehidupan. Ketika kita melihat orang lain baik, berpikir bahwa orang lain berusaha keras, dengan begitu, hati kita akan seimbang. Ketika kita melihat orang lain tidak baik, kita harus memperingatkan diri kita sendiri, itu karena kita tidak membina diri dengan baik. Menyeimbangkan mentalitas sendiri menentukan pandangan hidup dan nilai yang berbeda, semuanya bergantung pada mentalitas yang seimbang. Keberhasilan seseorang dalam menekuni Dharma bergantung pada mentalitas penyelarasan diri. Praktisi Buddhis menggunakan metode yang luar biasa dalam memandang kehidupan. Segala sesuatu di dunia ini adalah ilusi. Hari ini ada besok tiada, lusa ada, lusanya lagi tiada. Orang hidup dalam keadaan seperti ada dan tiada, yaitu hidup seolah-olah hidup dan seolah-olah mati. Hidup dan mati adalah reinkarnasi, kelahiran dan kematian. Jika orang yang hidup tidak tahu untuk menekuni Dharma, tidak tahu untuk menyayangi semua makhluk, tidak memahami sebab dan akibat, ia akan seperti orang mati, sedangkan orang mati, jika rohnya bertahan selamanya, ia akan seperti orang yang hidup. Tubuh ini bersifat sementara, kita harus meminjam kepalsuan untuk membina kebenaran, agar jiwa kita mengikuti Bodhisattva dan hidup selamanya di dunia.
Kita harus mamandang segala hal di dunia ini dengan sikap optimis. Apa itu perspektif? Apa itu optimis dan tidak optimis? Melihat ada setengah roti di atas meja, orang yang pesimis akan berkata, “Aduh, hanya tersisa setengah roti.” Sedangkan orang yang optimis akan berkata, “Kenapa masih ada setengah roti lagi!” ini adalah mentalitas orang. Berharap semua orang dapat memperbaiki mentalitas diri sendiri dan jadilah orang yang baik.
Menekuni Dharma berarti belajar menjadi manusia, dan menjadi manusia berarti menjadi seperti seorang Buddha. Pelita hati yang terang harus menyala setiap hari, agar hati Buddha selalu ada di dalam hati kita, menyalakannya di dalam hati, dan menyinari sepuluh alam Dharma. Kita praktisi Buddha tidak hanya “menyalakannya” di luar untuk dilihat orang lain. Kita harus menggunakan hati kita sendiri untuk mengharukan orang lain, mencintai orang lain dengan hatimu sendiri. Kita lebih baik tidak pernah memiliki banyak hal daripada memilikinya lalu kehilangannya. Jadi, jangan terlalu banyak memiliki, sehingga tidak akan terlalu banyak kehilangan. Jangan memiliki terlalu banyak nafsu keinginan, sehingga tidak akan memiliki terlalu banyak kekecewaan.
Hidup memang seperti ini. Terkadang orang baru akan benar-benar melepaskan dirinya ketika dia putus asa. Belum bisa melepaskan sebelum mencapai titik keputusasaan. Ketika sudah putus asa, tidak berdaya, dan tahu bahwa tidak ada harapan lagi, dia akan berpikiran terbuka. “Tidak masalah, begitu saja. Memangnya bisa bagaimana lagi, bukankah itu hanyalah sebuah jodoh?” Kita harus sering melepaskan diri, jangan menunggu sampai putus asa baru mulai melepaskan diri. Seringkali orang menderita pukulan kehilangan, yang bermula dari akar keinginan untuk memiliki sesuatu. Yang sering kita rasakan sedih adalah kehilangan: kita tidak mendapatkan ini, kita tidak mendapatkan jabatan itu, kita tidak mendapatkan uang itu, kita tidak mendapatkan identitas itu, anak ingin masuk ke sekolah elit tetapi tidak berhasil… semuanya adalah akar di hati. Pernah memilikinya, maka akan kehilangannya. Jika memilikinya sekarang, maka akan segera kehilangannya lagi, dan lambat laun tidak akan ada harapan lagi. Ada orang yang sangat menderita atas perceraian setelah pernikahan pertama mereka; ketika dia menikah untuk kedua kalinya, dia penuh dengan harapan untuk kehidupan baru, tidak menyangka selanjutnya adalah kekecewaan; hingga ketiga kalinya, dia tidak lagi memiliki harapan pada orang atau benda, dan kemudian dia akan semakin kecewa. Semakin besar harapan seseorang, semakin besar pula kekecewaannya, dan kemudian akan putus asa. Namun ketika praktisi Buddhis menemukan ajaran Buddha Dharma, dia akan meninggalkan kekecewaan, memulai hidup baru. Melihat harapan baru bisa menemukan saat-saat bahagia di dunia.
Tidak risau saat putus asa. Setelah seseorang menanggung segala penderitaan di dunia barulah dia dapat menemukan harapan jalan Kebuddhaan. Jika ada harapan dalam hidup, maka akan ada kekecewaan. Kekecewaan dan harapan adalah seperti anak kembar di dunia. Ada anak ini, maka tidak ada anak itu. Anak itu ada, anak ini tiada. Dunia ini begitu besar, jika kita tidak datang ke dunia ini, bagaimana kita bisa mengetahui penderitaan di dunia ini? Jika kita tidak hidup, bagaimana kita bisa mengetahui apa yang kita miliki dan apa yang telah hilang? Praktisi Buddhis harus memiliki keberanian untuk menerima “ada” dan menanggung“tidak ada”.
Ketika seseorang menekuni Dharma, dia tidak boleh mengatakan bahwa dia telah mendengar Dharma hari ini dan tidak rajin dan tekun dalam hatinya. Apa yang saya tunggu? Tingkat kesadaran spiritual orang yang mempraktikan ajaran Zen, tidak peduli apa pun yang dilakukan, tidak boleh bergantung pada orang lain, harus mengerti bahwa diri sendiri yang membina, diri sendiri yang mendapatkannya. Banyak orang tidak melafalkan paritta sendiri dan meminta orang lain untuk melafalkannya, yang dia peroleh bukanlah jasa kebajikannya sendiri, melainkan jasa kebajikan orang lain. Praktisi Buddhis tidak bisa menunggu sampai besok. Orang lain bukan saya. Jika saya tidak melakukannya sekarang, tunggu kapan lagi?
Praktisi Buddhis harus memanfaatkan waktu dengan erat. Kita dalam menekuni ajaran Buddha Dharma, harus menemukan diri kita dalam penderitaan, menemukan arah hidup dari kesakitan. Menekuni Dharma akan membuat kita lebih bijaksana, kita harus bersabar ketika dalam penderitaan. Orang yang tidak menekuni Dharma akan menderita seumur hidupnya, tetapi orang yang menekuni Dharma mengetahui sebab dan akibat, tahu cara untuk menyelamatkan diri, jadi penderitaan orang yang menekuni Dharma itu hanya bersifat sementara. Sedangkan penderitaan dari orang yang tidak menekuni Dharma, itu adalah selamanya. Harus bersabar ketika menderita, dan harus bertobat jika telah menyakiti orang lain, harus memiliki keteguhan hati dalam menanggung penderitaan di dunia ini. Memiliki kesabaran dan keteguhan hati adalah dasar dalam menekuni Dharma. Praktisi Buddhis harus memiliki keteguhan hati dan kesabaran. Jika seseorang kehilangan kesabaran dalam menekuni Dharma, maka dia akan kehilangan keteguhan hati dan tidak akan memiliki kebijaksanaan untuk menekuni Dharma.
Saat suami istri bertengkar, siapa yang memiliki kesabaran, dialah yang bisa menyelesaikan masalahnya. Saat berbisnis dengan teman, tidak peduli apapun kerugian yang diderita, siapa yang punya keteguhan hati, dialah yang bisa menjalankan bisnis dengan baik. Sebagai manusia, kita harus belajar ketekunan dari kesabaran, harus bersabar dan tekun dalam membuat kemajuan. Ada tiga tahap dalam suami istri: tahap pertama adalah cinta; setelah sekian waktu akan menjadi pertengkaran; tahap ketiga tergantung pada kemampuan diri kalian sendiri. Siapa yang memiliki dua kata ini, dialah yang dapat mempertahankan keluarganya. Tanpa kedua kata ini, keluarga akan hancur. Dua kata terakhir ini adalah “忍耐 ren nai — sabar”. Ada sebuah lelucon nyata. Tahun 2011, seorang istri membawa seekor burung beo ke pengadilan untuk mengajukan perceraian. Alasannya adalah burung beo yang dipelihara di rumah itu terus berkata “cerai, cerai, sabar, sabar, sabar lagi, sabar lagi…” Istri curiga suaminya berbicara dengan pacarnya di luar dan berkata, “Saya pasti akan bercerai. Kamu harus bersabar.” Dia mencurigai suaminya dan membawa burung beo ke pengadilan. Pengadilan tidak menyetujuinya. Dia terus bertengkar dengan suaminya ketika dia pulang. Pada akhirnya, suaminya benar-benar mencari seseorang di luar, dan mereka benar-benar bercerai. Ini adalah tidak memiliki kebijaksanaan. Jika kamu memandang orang lain dari sudut pandang yang baik, kamu akan memiliki energi positif di dalam hatimu. Jika kamu memandang orang lain dari sudut pandang yang buruk, kamu akan memiliki energi negatif. Praktisi Buddhis harus memiliki energi positif. Hal apapun harus melihat sisi baiknya, karena kita memiliki hari esok yang indah, dan hari esok dikendalikan oleh diri kita sendiri, karena ada bimbingan Buddha.