26. Semua Makhluk adalah Buddha, sedangkan Buddha adalah Semua Makhluk (2)
Jika menggunakan istilah masa kini, seorang pekerja teladan, jika dia tidak membantu orang lain, tidak rajin bekerja, menurutmu, apakah dia bisa menjadi pekerja teladan? Logikanya sama saja. Oleh karena itu, kita harus mengenali diri sendiri, harus mengenal bahwa: setiap orang sendirinya adalah satu makhluk hidup. Dengan kata lain, kita harus mengenal diri sendiri: Saya adalah makhluk hidup, saya bukan Bodhisattva. Saya adalah satu makhluk hidup, saya datang demi semua orang. Saya baik harus turut baik bersama dengan semua orang, menderita pun harus menerimanya bersama dengan semua orang. Itu baru yang disebut Bodhisattva, itu baru yang dinamakan orang baik. Coba kamu pikirkan, jika ibu atau ayah dalam satu keluarga, saat muncul masalah di rumah, lalu dia melarikan diri, dia tidak menolong orang-orang di rumah, menurutmu, apakah dia bisa menjadi orang tua yang baik? Orang tua, orang tua, juga adalah orang yang dituakan. Jika keluargamu bermasalah, kamu tidak boleh lari dari tanggung jawab. Sekarang kamu berada di dunia ini, ada begitu banyak murid-murid Buddha yang menderita di dunia ini, bagaimana mungkin Bodhisattva tidak turun untuk menolong orang-orang? Kamu sudah menjadi Bodhisattva, maka kamu harus mengemban tanggung jawab ini turun ke dunia untuk menolong orang-orang. Coba kamu lihat Guan Shi Yin Pu Sa, sekarang Guan Shi Yin Pu Sa bersama Master keluar menghadapi berapa banyak penderitaan? Malam hari pergi keluar menolong orang, ke mana Master pergi menolong orang, maka welas asih Bodhisattva pun sampai ke sana. Begitu kita mengadakan suatu kegiatan, Bodhisattva segera memberi berkat. Coba kamu pikirkan, kamu kira turun dari Surga begitu mudah ya? Coba saja kalian naik lift, kalian naik lift dari lantai 30 turun sampai ke lantai 1, jika lift ini tidak berhenti di tengah jalan, apa yang kalian rasakan? Kalian saat naik pesawat turun dari langit melandas turun, telinga kalian terasa sakit tidak? Kalian kira Bodhisattva turun tidak merasakan apapun? Sekarang saya beritahu kalian, kalian baru tahu. Tidak ada seorang pun yang menolong orang lain tanpa pengorbanan.
Jika kamu ingin menjadi orang yang baik, ingin menjadi seorang Bodhisattva, maka kamu harus memahami bahwa: Saya sendiri tidak memiliki keistimewaan apapun, saya hanyalah satu makhluk hidup. Kemudian, pikiran saya sendiri adalah sifat Kebuddhaan. Apa maksudnya? Yaitu pikiran saya sendiri adalah sifat dasar Buddha. Bisa dipahami seperti ini: kamu setiap hari sangat ingin bertemu dengan Buddha, kalian setiap hari ingin bertemu dengan Guan Shi Yin Pu Sa, maka kamu setiap hari bisa melihat sifat dasarmu. Sesungguhnya, kalian seharusnya setiap hari bertemu dengan semua makhluk, karena semua makhluk adalah Buddha bagi kalian, semua makhluk adalah Bodhisattva bagi kalian. Jika kalian bersikap baik terhadap setiap makhluk, bukankah berarti kamu sudah menjadi Bodhisattva? Karena Guan Shi Yin Pu Sa baik terhadap setiap makhluk, bukankah Dia adalah Bodhisattva? Kalian setiap hari masih memohon kepada Bodhisattva, sedangkan Bodhisattva sesungguhnya adalah apa yang kalian lakukan sendiri. Setiap orang datang ke sini, sudah menjadi Bodhisattva. Mereka datang bersembah sujud, mereka adalah Bodhisattva; kamu baik kepadanya, maka kamu memiliki pikiran dan ucapan Buddha, kamu adalah Bodhisattva – jika berpikir demikian, pembinaan dirimu semakin lama baru bisa semakin bagus. Jika saat melihat seorang ibu yang sudah berumur, atau melihat seorang paman yang sudah lanjut usia, “Aih, di sini terlalu banyak orang. Pergi saja, terlalu banyak orang”, coba kamu renungkan, bagaimana mungkin kamu bisa menjadi Bodhisattva? Apakah Guan Shi Yin Pu Sa akan memperlakukan semua makhluk dengan begini? Oleh karena itu, jika dirimu ingin menjadi Buddha, ingin bertemu dengan Buddha, maka kamu harus bertemu dengan semua makhluk, kamu baru bisa menjadi Buddha.
Semua makhluk yang tersesat di dunia ini, berarti membiarkan Buddha dan Bodhisattva meninggalkan tubuhmu. Tidak peduli apakah kamu adalah makhluk hidup biasa, atau kamu adalah Buddha. Misalnya, apakah semua makhluk adalah Buddha? Adalah Buddha, mereka memiliki sifat Kebuddhaan. Akan tetapi, begitu Buddha tersesat, maka kamu akan berubah menjadi makhluk biasa. Setelah kamu menjadi makhluk biasa, sesungguhnya berarti membiarkan Buddha meninggalkan dirimu – bukan berarti tidak ada Buddha, melainkan Buddha pergi dari dirimu. Contoh sederhana: orang ini adalah orang baik, berarti orang ini memiliki hati nurani, berarti hati nurani tidak meninggalkanmu; namun jika orang ini adalah orang jahat, berarti hati nurani sudah meninggalkannya; jika orang ini membunuh dan membakar rumah-rumah, berarti hati nurani orang ini sudah meninggalkannya. Seseorang yang tidak memiliki hati nurani adalah iblis, namun tidak berarti sifat dasar orang ini sudah hilang, tidak berarti sifat Kebuddhaannya sudah hilang, melainkan karena Buddha sudah meninggalkanmu, makanya kamu baru bisa berubah menjadi iblis. Begitu iblis naik, maka Buddha segera pergi. Oleh karena itu, bukan Buddha yang tersesat, melainkan semua makhluk yang tersesat. Kalian sendiri yang tersesat dan memutarbalikkan kebenaran, maka membuat Bodhisattva pergi; karena kalian tidak bisa menemukan rumah, maka rumahmu ini pun sudah hilang. Seperti orang yang minum minuman keras, di malam hari pun tidak bisa menemukan rumahnya. Contoh sederhana: Kalian pergi ke sebuah lapangan parkir yang sangat besar, terkadang kalian akan tersesat, bahkan kalian tidak bisa menemukan di mana kalian memarkirkan mobil sendiri, sudah berkeliling berkali-kali tetap tidak ketemu. Karena kalian sama sekali tidak memiliki kesadaran yang jelas, makanya kalian baru bisa tersesat. Bukan mobil ini meninggalkanmu, melainkan pemikiranmu yang sudah meninggalkan mobilmu. Bukan Buddha yang meninggalkanmu, melainkan kamu yang telah meninggalkan Buddha.
Kita harus bisa memiliki sifat alami (svabhava) bagai tersadarkan. Kita harus sering merasa: “Oh, masalah ini, saya sudah benar tidak ya? Dalam masalah ini, saya seharusnya berbuat begini atau tidak ya? Dalam masalah itu, apakah saya seharusnya berbuat begini?”. Sering berpikir: “Saya berbuat begini, benar tidak?”, ini yang disebut “sifat alami bagai tersadarkan”. Dengan kata lain, diri sendiri harus sering merasa dirinya seperti sudah tersadarkan atau tercerahkan, “Saya sudah paham”, lalu merenung, “Aih, masalah ini saya seharusnya begini.” Misalnya, kalian sekarang sedang mengerjakan banyak hal, kalian sedang memikirkan masalah Seminar Dharma di Hongkong, “Dalam hal ini, saya merasa sepertinya masih kurang sesuatu, sepertinya belum sesuai, hal ini sepertinya saya masih tidak tenang, kurang sreg. Begitu banyak orang yang pergi, setelah sampai, apakah tempat ini terlalu kecil? Saya harus bagaimana … ” kamu sepertinya selalu mempertimbangkan sesuatu, ini dinamakan “bagai tersadarkan”, yakni sepertinya kesadaranmu sudah terbuka. Dalam keadaan seperti ini, kamu akan menemukan sifat alami kamu, yakni suatu potensi yang terpendam sangat dalam di dalam sifat dasarmu, yang selama ini terus kamu cari, yang bisa membuat kamu mencapai pencerahan.
Selanjutnya Master akan membahas, “Jika sifat alami bagai tersadarkan, maka semua makhluk adalah Buddha; bila sifat alami bagai tersesatkan, maka Buddha adalah makhluk biasa.” Dengan kata lain, kamu sudah melebur ke dalam semua makhluk, kamu sudah menjadi Buddha dan Bodhisattva, akan tetapi jika sifat alami kamu atau sifat dasarmu semakin tersesat, maka kamu yang seharusnya sudah menjadi Buddha, sekarang kamu menjadi makhluk biasa. Sesungguhnya, semuanya tidak bisa terlepas dari kata “sesat”, karena kamu sudah tersesat, kamu akan menjadi makhluk (orang) biasa. Oleh karena itu, harus memiliki sifat alami yang setara. Apakah yang dimaksud dengan sifat alami yang setara? Yaitu bagaimana kamu mengendalikan dirimu agar tidak tersesat? Yakni kamu harus memandang semua orang, segala hal, seluruh pemikiran secara sama rata. Contohnya, kamu berkenalan dengan orang ini, kamu merasa dia seperti saudara kandungmu, dirimu ingin melindungi dan mengasihinya. Saat kamu berbisnis dengan orang ini, kamu harus merasa bahwa semua orang adalah adil, saya tidak boleh mengambil keuntungan yang tidak semestinya darinya, dia juga pasti tidak akan begitu. Ketika kamu membantu orang ini, kamu merasa, saya tidak memiliki maksud apapun apapun darinya, saya merasa penderitaan yang dirasakan tubuhnya seperti penderitaan yang saya rasakan sendiri, penderitaan yang dirasakan jiwanya seperti penderitaan yang jiwa saya rasakan. Inilah mengapa, seorang praktisi Buddhis begitu mendengar penderitaan orang lain, akan merasa sangat sedih, dan mengapa banyak orang yang tidak menekuni Dharma, begitu mendengar penderitaan orang lain, dia malah tertawa senang. Logikanya adalah: seseorang yang merasa sedih, karena ada Buddha di hatinya, dia memikirkan semua makhluk, maka dia akan merasa sedih; sedangkan ada sebagian orang tidak memiliki Buddha di hatinya, makanya dia bisa bergembira di atas penderitaan orang lain.
Saat sifat alami setara, maka semua makhluk adalah Buddha. Jika kamu bisa memandang setiap orang sebagai Buddha, bukankah berarti kamu sudah menjadi Buddha? Contoh sederhana: kita hidup di dunia ini, saya berkata, hari ini kita yang berada di sini semuanya adalah orang baik. Menurutmu, bukankah Master adalah salah satu di antara orang-orang baik itu? Jika saya berkata, kalian semua adalah orang jahat, berarti Master pun menjadi salah satu di antara orang-orang jahat itu. Oleh karena itu, sebagai seorang praktisi Buddhis, kamu harus bisa memandang orang lain sebagai orang baik, semua orang adalah Buddha, ini yang dinamakan sifat alami yang setara. Karena kamu memandang semua orang adalah sama, bukankah berarti kamu berpandangan setara? Kesetaraan kamu muncul, kamu pun merasa dia adalah orang baik, sedangkan orang baik bertemu dengan orang baik, maka tidak akan mencelakakan orang lain. Bukankah berarti kamu sudah berpandangan setara? Tidak peduli apapun yang kamu lakukan, kita semua bersama-sama adalah sebuah jodoh, jika kamu memandang jodoh ini dengan positif, bukankah jodoh baik kamu akan muncul? Jika kamu memandang orang lain sebagai orang jahat, bukankah akan melahirkan jodoh buruk? Oleh karena itu, para praktisi Buddhis harus bisa memahami kebenaran-kebenaran ini. Sifat alami yang tersesat membahayakan. Jika sifat dasarmu dan sifat alami kamu mulai menyimpang, berarti kamu dalam keadaan bahaya, ini yang disebut bahaya ketersesatan. Jika sifat dasarmu semakin jahat, semakin tidak benar, kamu mencelakakan orang lain, berpikiran buruk, berpikiran picik, maka bahaya kamu akan menjadi semakin besar. Coba saja kamu pikirkan, begitu seseorang memiliki pemikiran buruk, bukankah bahayanya akan menjadi besar? Seseorang yang memiliki pemikiran buruk ingin menyakiti orang lain, bukankah dia dalam bahaya? Karena dia sangat mungkin akan disakiti oleh orang lain. Inilah prinsipnya, maka saya harap kalian semua bisa memahaminya.
Buddha adalah semua makhluk. Apabila Buddha menjadi semua makhluk, itu karena dia memiliki banyak sekali pemikiran liar. Saat pemikiran liarnya yang bermacam-macam semakin lama semakin banyak, maka Bodhisattva pun akan menjadi makhluk biasa. Buddha dan Bodhisattva bisa menjadi makhluk biasa, karena memiliki pemikiran liar. Jika Bodhisattva memiliki pemikiran liar, maka dia akan berubah menjadi makhluk biasa. Yang ingin Master beritahu kepada kalian setelah berbicara panjang lebar adalah, kita sebagai orang yang menekuni Dharma dan membina pikiran adalah tidak bisa meninggalkan semua makhluk. Jika hari ini Master tidak menyelamatkan semua makhluk yang berjodoh seperti ini, bagaimana mungkin saya bisa menjadi Master Lu seperti hari ini? Jika Guan Shi Yin Pu Sa tidak menyelamatkan semua makhluk, bagaimana mungkin bisa menjadi Guan Shi Yin Pu Sa? Jika Buddha Sakyamuni tidak menyelamatkan semua makhluk di dunia, menyebarluaskan ajaran Buddha Dharma, bagaimana bisa menjadi Sang Buddha? Coba lihat saja, Bodhisattva Ksitigarbha, jika Beliau tidak memiliki tekad yang begitu besarnya untuk menyelamatkan semua makhluk, bahkan makhluk-makhluk di Alam Peta pun ditolongnya, apakah Beliau bisa menjadi Bodhisattva? Inilah yang dikatakan, semua makhluk adalah Buddha, sedangkan Buddha adalah semua makhluk. Karena Buddha mengenal semua makhluk di tengah-tengah semua makhluk. Pada dasarnya dirimu adalah Buddha, tetapi kamu tidak mengenal Buddha, maka kamu adalah makhluk biasa. Jika hari ini kamu bisa mengetahui Buddha dan Bodhisattva, mengenal Buddha dan Bodhisattva, maka kamu adalah Bodhisattva; meskipun kamu adalah Buddha dan Bodhisattva, akan tetapi jika kamu tidak mengenal semua makhluk, maka kamu adalah makhluk biasa. Jika hari ini kamu adalah makhluk biasa, namun kamu mengenal Buddha, maka kamu pasti adalah Buddha, karena Buddha adalah semua makhluk.
Saat Master menolong kalian, saya berpikir: kalian semua adalah Bodhisattva, di masa depan nanti, kalian mungkin akan menjadi Buddha. Buddha Sakyamuni di masa itu memiliki 500 orang beragam murid yang membina diri mengikutinya, terakhir Buddha Sakyamuni pergi ke Surga, sedangkan 500 orang muridnya secara beriringan semuanya pergi ke Surga. Coba kamu lihat, betapa gembiranya. Sedangkan perasaan bahagia setelah tiba di Surga, juga bisa mengetahui masa lalu kita dulu di dunia. Di Alam Surga, kita tidak akan memikirkan hal-hal yang sudah berlalu, makanya baru bisa berbahagia. Misalnya kalian sekarang terlahir sebagai binatang, apakah kalian masih tahu rupa kalian dulu saat menjadi manusia? Apakah kalian masih mengetahui saudara-saudari kandung kalian yang dulu? Betapa menderitanya. Namun, jika orang yang menjadi Buddha atau Bodhisattva, atau terlahir di Alam Surga, dia bisa mengetahui masa lalunya. Ini karena semakin ke atas, kecerdasannya semakin kuat, makanya dia lebih mampu mengetahui hal-hal yang terjadi di masa lalunya. Dengan kata lain, seperti Master sekarang bisa melihat masa lalu kalian, sesungguhnya karena kedudukan Master tinggi, yakni pada dasarnya adalah orang yang berada di Alam Bodhisattva, maka saya bisa melihat masalah-masalah kalian di Alam Manusia. Contoh sederhana, kalian sebagai orang-orang yang pernah sekolah perguruan tinggi, kamu baru bisa mengetahui PR murid-murid sekolah menengah, “Oh, yang ini, geometri”; saat kamu di sekolah menengah dan melihat PR murid SD, “Oh, penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian”. Jika kamu bukan berada pada tingkat pendidikan yang tinggi, bagaimana mungkin kamu bisa mengetahui keadaan di tempat yang lebih rendah? Jika kamu adalah seorang murid SD, misalnya kamu ingin melihat materi pembelajaran mahasiswa, apakah kamu bisa memahaminya? Memberimu PR, apakah kamu bisa mengerjakannya? Inilah logikanya. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan diri ke atas, semakin tinggi baru bisa melihat semakin menyeluruh, semakin tinggi baru bisa melihat segalanya dengan lebih jelas.