1. Meneladani Kebijaksanaan dan Welas Asih yang Menyeluruh dari Bodhisattva
Hari ini kita akan membahas tentang, bahwa banyak orang yang menekuni Dharma, menyembah Buddha, dan melafalkan paritta, namun sampai sekarang masih tidak tahu apa sesungguhnya itu “Buddha”. Sebenarnya, Buddha adalah yang memiliki tingkat kesadaran spiritual yang sangat tinggi, adalah yang maha bijaksana, adalah yang sudah mencapai penerangan yang paling sempurna. Pada kenyataannya, jika kita menggunakan deskripsi secara duniawi, apakah itu Buddha? Suatu karakter yang pada saat yang sama, memiliki kecerdasan intelektual, emosi perasaan, dan kemampuan yang sudah mencapai taraf yang paling sempurna. Dengan kata lain, seseorang yang disebut sebagai Buddha di dunia ini, berarti dia adalah orang yang menekuni ajaran Buddha Dharma dengan sangat baik, yang memiliki karakteristik baik secara intelektual, perasaan, dan kemampuan yang secara bersamaan sudah mencapai tingkat yang paling sempurna. Dengan kata lain, orang ini sepenuhnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan kecerdasan intelektualnya sendiri, sepenuhnya bisa mengendalikan perasaannya sendiri, sepenuhnya bisa mengontrol segala hal dan benda-benda di dunia ini, selain itu sudah terbebaskan dari kerisauan duniawi. Tidak peduli permasalahan apapun yang terjadi di dunia ini, dia memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. Misalnya, terjadi suatu masalah di rumah, maka dia memiliki cara untuk menyelesaikannya. Atau misalnya, hidupnya sudah tidak lama lagi, maka dia bisa memiliki cara untuk melampaui – membebaskan dirinya. Tidak peduli apapun masalah yang terjadi di rumahnya, dia memiliki suatu kebijaksanaan yang melampaui orang-orang pada umumnya. Saat terjadi masalah perasaan di rumah, dia pun bisa mengendalikan emosi perasaannya, pemikiran rasionalnya sepenuhnya tidak akan lepas kendali, segala sesuatunya sangat sempurna.
Apakah definisi dari “sempurna”? Sempurna, dengan kata lain, kecerdasan intelektual dan emosi perasaanmu bisa menyelesaikan masalah, itu yang disebut sebagai sempurna. Jika, walau kamu memiliki kecerdasan intelektual, akan tetapi kamu tidak menyelesaikan masalah, berarti kamu masih belum termasuk sempurna. Misalnya, kamu ingin marah, namun kamu dengan jelas tahu bahwa “Saya tidak boleh marah, hari ini saya harus bersabar menahannya, saya tidak akan bertengkar dengannya.” Kelihatannya, kamu bisa menahan perasaanmu, akan tetapi sesungguhnya, kamu tetap belum benar-benar menyelesaikan masalahnya. Pada kenyataannya, orang ini masih belum mencapai kesempurnaan penuh. Dengan kata lain, tidak total. Kamu memiliki kebijaksanaan, namun belum total, berarti masih belum sepenuhnya terbebas darinya; kamu memiliki perasaan, tetapi kamu tidak bisa mengendalikannya; kamu memiliki kemampuan, akan tetapi kamu masih belum benar-benar sepenuhnya memahaminya. Dalam 24 jam, di dalam seluruh kehidupanmu, seberapa kuat sesungguhnya kemampuanmu? Hanya Buddha yang mampu mencapai suatu kesempurnaan yang total. Apakah maksud “total” di sini? Berarti sudah tuntas ke dasarnya, dia baru disebut sebagai sempurna. Berarti masalah ini sudah terselesaikan secara tuntas, itu baru namanya sempurna, selain itu yang dirujuk di sini adalah karakter. Karena, umpamanya manusia, walaupun dia memiliki raga, akan tetapi jika dia adalah Buddha, maka dia memiliki karakter, dan karakter ini sangat penting. Sedangkan karakter ini sesungguhnya sudah melampaui manusia biasa, baru disebut sebagai karakter. Karena dia adalah manusia, dia masih belum parinibbana, maka kita hanya bisa menyebutnya sebagai karakter. Namun pada kenyataannya, di dunia ini, dia sudah menjadi Buddha. Maka, kita harus meneladani rupa Buddha, meneladani kesadaran spiritual Buddha, meneladani totalitas kesempurnaan Buddha, meneladani perasaan, intelektual, dan kemampuan Buddha yang sebelumnya disebut sudah memiliki karateristik yang melampaui manusia biasa, maka sesungguhnya berarti kamu sedang menjadi Buddha.
Karena Buddha dan Bodhisattva adalah maha bijaksana. Apakah yang dimaksud “maha bijaksana”? Berarti amat sangat luar biasa bijaksana. Apakah yang dimaksud dengan “maha welas asih”? Berarti amat sangat luar biasa welas asih. Ketika seseorang memiliki perasaan welas asih, maka sesungguhnya dia termasuk bersifat dasar baik hati. Karena jika seseorang memiliki rasa belas kasihan, maka orang ini pasti memiliki kebijaksanaan. Karena saat kamu mengasihani seseorang, kamu tidak akan melakukan hal-hal tidak rasional yang di luar batas kewajaran orang-orang pada umumnya. Karena kamu membenci seseorang, maka kamu baru bisa bersikap di luar batas wajar. Jika kamu sangat membenci orang ini, kamu tidak memiliki rasa kasihan. Karena di dalam hatimu selalu terpendam kebencian, kecemburuan, ketamakan, amarah, dan kebodohan, sedangkan kebodohan seperti ini sesungguhnya akan membuatmu tidak memiliki rasa kasihan. Apakah kebodohan itu? Kebodohan, dengan kata lain, karena kamu tidak memahami hal ini, kamu merasa hal ini, “Saya harus melakukannya”, ini yang disebut sebagai kebodohan. Sedangkan seseorang yang benar-benar memiliki belas kasihan, dengan kata lain, dia akan bisa mengasihaninya, dia bisa memaafkannya. Seseorang yang berwelas asih, dia pasti tidak akan bodoh. Contoh: banyak orang yang membeli lotere, apakah dia bodoh? Dia bodoh. Orang lain menyakitinya, lalu dia bersikeras untuk membalas dendam kepada orang itu, apakah dia bodoh? Bodoh. Akan tetapi, darimanakah kebodohan ini berasal? Karena di dalam hatinya terdapat suatu pemikiran psikologis untuk membalas dendam – “Karena hari ini kamu menjahati saya, maka saya akan membalasmu.” Orang seperti ini tidak memiliki rasa belas kasihan, dia tidak memahami hukum karma. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki rasa belas kasih, dia tidak akan melakukan kebodohan, dia juga tidak akan membenci orang lain. Seseorang yang memiliki belas kasihan, tidak akan tamak. Karena seseorang yang memiliki ketamakan, dia tidak akan memiliki belas kasih. Contoh: “Saya sudah bagus, masih ingin lebih baik. Anak saya tahun depan tidak bisa masuk sekolah menengah favorit,” Jika kamu mengasihani anak ini, kamu akan menyadari kalau kecerdasan anak ini kurang, tidak bisa belajar matematika dengan baik, namun kemampuan sastranya masih lumayan. Ada anak yang pada dasarnya memang berbakat dalam matematika, ada anak yang memang berbakat dalam sastra, dan pada kenyataannya sebelum memasuki sekolah menengah sudah dapat mengetahui arah aspek kecerdasan anak. Tetapi, bagaimana karena memiliki belas kasihan lalu bisa menjadi tidak tamak? Dengan kata lain, terpikir oleh kamu betapa kasihannya anak ini, kamu berpikir bahwa anak ini sudah berusaha keras, namun tetap tidak bisa mencapai target, kamu merasa bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang bisa saya kendalikan, maka kamu tidak akan menjadi tamak – menginginkannya lagi, ini juga disebut rasa belas kasihan.
Bodhisattva memiliki kebijaksanaan dan welas asih yang total. Dengan kata lain, kebijaksanaan Bodhisattva itu totalitas penuh, sangat sempurna, welas asihnya dan kebijaksanaannya juga sangat sempurna, sedangkan Buddha adalah “maha bisa”. Apakah yang dimaksud dengan “maha bisa”? Dengan kata lain, mampu melakukan segalanya. Kalian mungkin masih tidak memahami apa yang dimaksud dengan “maha bisa”. Contoh: sekarang kamu memiliki kemampuan untuk mengerjakan setiap hal, akan tetapi, kamu bukanlah “maha bisa”. Misalnya, hari ini kamu tidak sehat, saya memiliki kemampuan, saya pergi berobat, saya minum obat. Itu berarti kamu memiliki kemampuan ini, akan tetapi apakah kamu mampu untuk membuatnya sepenuhnya sembuh? Hari ini, masalah ini datang, tiba-tiba, kamu bisa mencetuskan banyak ide, sedangkan ide-ide ini bisa mengatasi segala kesulitanmu di dunia ini, itu baru yang disebut sebagai “maha bijaksana”, yang dinamakan sebagai “maha bisa”. Misalnya, bos perusahaan kamu hari ini ada masalah yang membuatnya merasa tidak senang terhadapmu, saat itu, kamu sedang mengerjakan suatu hal, kebetulan saat dia masuk, dia melihat kamu sedang mengerjakan hal lain, sedangkan masalah ini, sesungguhnya kamu pun melakukan untuknya, hanya saja pada saat itu kamu tidak bisa menjelaskan bahwa saya tidak melakukannya demi diri sendiri. Bos kamu salah paham terhadapmu, namun kamu pun tidak bisa menjelaskannya. Lalu apakah kamu memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah ini? Hal-hal seperti ini banyak sekali terjadi dalam perusahaan. Kesalahpahaman bos terhadap kalian, atau kesalahpahaman suami terhadap kalian, atau kesalahpahaman anak terhadap kalian … terkadang ada hal-hal yang tidak bisa diungkapkan, karena begitu diucapkan keluar, diri sendiri akan merasa sangat malu. Dalam keadaan seperti ini, bagaimana dirimu menjelaskannya? Kebijaksanaan apa yang harus digunakan? Apabila kamu bisa menyempurnakan hal ini, itu berarti kamu “maha bisa”. Permintaan Master terhadap kalian tidak tinggi, lebih banyaklah berusaha melakukan hal-hal yang tidak bisa kalian lakukan, jika kalian tidak bisa melakukannya, bagaimana bisa menjadi “maha bisa”? Kemampuan, kemampuan ini adalah kemampuan yang melampaui kemampuan orang-orang duniawi, ini adalah suatu kebijaksanaan. Sedangkan kebijaksanaan ini muncul setelah kamu menekuni Dharma, kamu sudah memiliki indra keenam, setelah kamu membina pikiran, kamu sudah bisa mengendalikan gelombang serat otak dan pemikiran yang melampaui orang-orang biasa. Kamu bisa membuat orang lain tahu apa yang sedang kamu pikirkan, bukannya dengan mudah mengatakannya keluar, itu semua karena kamu sudah melatih diri, sampai pada akhirnya, di dalam otakmu bisa terlahir suatu cara berpikir yang bijaksana, suatu informasi yang bijaksana, yang bisa membuat orang lain mengetahui apa yang sedang kamu pikirkan, itu baru disebut sebagai kebijaksanaan yang sempurna.
Memangnya mudah menekuni Dharma? Kamu kira, hari ini kamu melakukan satu kesalahan, lalu mengambil satu tindakan atau berbicara satu patah kata, itu sudah cukup? Saat seseorang tidak memahami suatu hal, paling-paling dia pergi mengatakan kepada bosnya. Sesungguhnya, hari ini saya tidak mengatakannya, saya mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan kepadanya, atau melalui sebuah surat, atau dengan mengambil satu tindakan untuk menunjukkannya kepada bos; hari ini saya sedang melakukan hal ini, namun sesungguhnya ini bukan demi diri saya sendiri. Sedangkan, semua ini sesungguhnya adalah trik-trik kecil di dunia ini, yang tidak dipahami orang-orang. Apakah Buddha dan Bodhisattva? Setelah kamu membina diri sampai suatu waktu tertentu, otakmu menjadi sangat bersih, begitu muncul suatu pemikiran dalam dirimu, lawan bicaramu bisa merasakannya, ini yang disebut dengan moralitas. Kalian mengira hal-hal di duniawi itu yang disebut sebagai moralitas, apakah bisa sempurna? Apakah kalian bisa melakukannya? Master bisa meminta seseorang untuk segera memahami saya, saya bisa meminta orang ini segera mengetahui apa yang sedang saya pikirkan, mengetahui bahwa Master baik kepadanya. Saya mengkritiknya, namun dia tetap merasakan bahwa ini adalah baik. Bukankah itu yang kalian semua rasakan? Master memiliki kekuatan ini, itu yang disebut sebagai energi. Mengapa setelah saya mengkritikmu, lalu kamu masih ingin supaya Master mengkritik lebih banyak? Kalau tidak dikritik malah tidak terima. Inilah suatu kekuatan di mana bisa membuat orang lain memahami dan menerimamu. Sedangkan kekuatan moralitas ini bisa menglingkupi seluruh aspek, inilah substansi tak terlihat yang sangat sempurna.
Mengapa bisa sempurna? Karena dia memasuki pikiranmu melalui Alam Surga. Hal-hal yang datang dari Surga atau Langit, pastinya sangat suci, karena bila yang keluar dari pikiran kita adalah hal-hal yang kotor, maka tidak akan bisa naik ke Surga. Hal-hal yang disalurkan melalui “landasan luncur” ini semuanya adalah sesuatu yang bersih, orang lain baru bisa menerimanya. Tetapi jika kamu ingin meluncurkan sesuatu melalui landasan luncur ini, maka “informasi” yang diberikan harus murni bersih, tidak dipengaruhi oleh medan aura lainnya, dengan begitu orang lain baru bisa merasakannya dengan jelas. Jika yang kamu luncurkan adalah hal-hal yang kotor atau pemikiran kotor, maka orang lain tidak akan bisa menerima “informasi” darimu, mereka tidak akan bisa menerima hal-hal yang kamu salurkan. Menekuni Ajaran Buddha Dharma maupun meneladani Bodhisattva semuanya itu sangat bagus, tetapi harus benar-benar dilakukan, sedangkan keadaan kita sekarang masih sangat jauh sekali. Orang lain tidak bisa memahami kalian, kesalahpahaman anak-anak terhadap kalian, atau prasangka buruk suami terhadap diri kalian, semua itu terjadi karena informasi yang kalian salurkan sangat kotor. Kalian sama sekali tidak bisa membuat orang lain menerimanya, kalian sama sekali tidak bisa membuat mereka memahami apa yang kalian pikirkan, oleh karena itu informasi yang kalian salurkan itu semuanya keliru. Jangankan informasi, bahkan perbincangan antara suami istri, kamu ingin suami memahami maksudmu, namun begitu suami mendengar perkataanmu ini, dia malah memukul meja dan langsung marah. Dia bahkan tidak memahami apa yang kamu katakan, apalagi kamu ingin membuatnya paham dengan menggunakan pemikiran melalui otak. Coba saja kalian pikirkan, betapa sulitnya hal ini! Kalian sering mengatakan, “Maksud saya bukan begini.” Apalagi yang masih perlu dijelaskan? Karena kamu sudah membuatnya salah paham. Termasuk saat berbicara kepada anak-anak. Bukankah kalian memiliki mulut? Bukankah kalian semua pandai berbicara? Lalu mengapa pembicaraan seringkali berakhir dengan pertengkaran? Mengapa orang lain tidak bisa menerima pendapat kalian? Sampai pada akhirnya, malah masih mengatakan, “Mengapa kamu orangnya begini?“ Mengapa kalian bisa terus begini selama puluhan tahun? Apakah mulutmu bisa mengatakan dengan jelas?
Mengapa begini? Tidak ada mengapa. Semua karena informasi dalam pikiran kalian itu salah, selain itu kalian tidak memiliki kebijaksanaan dan kemampuan yang cukup besar, ditambah dengan perkataan yang kalian ucapkan, membuat orang lain tersakiti, sedangkan perasaan terluka ini pada dasarnya tidak sesuai dengan logika normal. Dalam bidang ilmu elektronika, ini dikenal dengan sebutan pulsa atau denyut nadi. Jika denyut nadimu tidak sesuai dengan denyut nadi dia, maka bisa menyebabkan terjadinya pertengkaran di antara suami istri. Begitu pula dengan pasangan yang berpacaran, jika denyut nadi perasaan sudah tidak cocok lagi, maka satu kalimat bahkan sekali bersin, bisa memicu perkataan, “Mengapa begitu saya bicara, kamu terus bersin?”, ini pun tidak boleh. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang luar biasa dari Bodhisattva mampu mentolerir dan menerima segala pemikiran yang masuk ke dalam pikirannya, dengan kata lain, hal-hal yang keluar dari dalam dirinya tidak akan pernah melukai orang lain, dan pastinya sangat bersih. Oleh karena itu, “informasi” yang keluar dalam dirinya disebut dengan kebijaksanaan dan welas asih yang menyeluruh, maha bijaksana. Sesungguhnya, Bodhisattva disebut juga sebagai “yang tersadarkan”. Orang yang sudah tersadarkan, sama sekali tidak akan perhitungan dengan orang lain. Itulah mengapa ketika kalian para murid berbicara dengan Master, lalu Master sering mengatakan, “Jangan mencari-cari alasan, kalian harus belajar untuk tidak berkelit.” Sudah salah, ya sudah. Apalagi yang perlu dijelaskan? Perlu penjelasan yang seperti apalagi? Jika kita bayangkan, bagaimana rupa seseorang ketika sedang menjelaskan, seringkali mereka tidak bisa berbicara dengan jelas. Ketika kamu sendiri masih mencari-cari alasan, maka sesungguhnya kamu sudah mengakui kesalahan ini, sebenarnya kamu sudah tidak memiliki kemampuan luar biasa ini, kamu tidak memiliki cara untuk menyelesaikan permasalahan ini; sebaliknya jika kamu tidak angkat bicara, malah jauh lebih baik daripada mengatakan apapun, kamu tidak mencari-cari alasan, orang lain juga bisa menenangkan diri dan merenungkan kembali apa yang terjadi, apakah dia melakukan kesalahan atau tidak?