33. Memahami Kekosongan Materiil, Belajar Mengendalikan Diri Sendiri 明白空性物体,学会克制自己

33. Memahami Kekosongan Materiil, Belajar Mengendalikan Diri Sendiri

Hari ini Master akan membahas tentang, “Tidak bergembira karena materi, tidak bersedih karena diri sendiri”. Apakah yang dimaksud dengan “tidak bergembira karena materi”? Dengan kata lain, jangan mengira karena dirimu sudah melakukan banyak hal, atau saat melihat benda-benda apapun di dunia ini, jangan merasa terlalu senang. Karena segala hal adalah ilusi palsu, selain itu mereka bisa berubah. Misalnya, sudah jelas benda yang dilihat ini sepertinya nyata, atau sesuatu yang sepertinya menyenangkan, namun sesungguhnya itu belum tentu nyata, belum tentu akan membawa kebahagiaan bagimu, juga belum tentu bisa membuatmu bahagia. Karena hal-hal yang kalian lihat mungkin hanya bagian permukaannya saja, dia belum tentu adalah suatu hal yang bersifat nyata yang berada di dunia ini. Misalnya, kamu memenangkan lotere, walaupun banyak uang yang didapatkan, namun pelan-pelan juga akan habis juga. Jika kamu memenangkan sebuah hadiah besar, mungkin juga malah akan mengundang bahaya maut. Dengan kata lain, jangan biarkan keadaan di luar memengaruhi hatimu, yakni jangan biarkan kegembiraan, amarah, kesedihan, dan sukacita kamu memengaruhi perasaan dan kehidupanmu. Kalian harus memahami bahwa, terkadang karena ketidaktahuan kita, sehingga kegembiraan, amarah, kesedihan, dan sukacita diri sendiri akan terpengaruh sebagian hal dalam masyarakat. Misalnya, saat kamu mengalami hal yang menyenangkan di luar, maka saat pulang ke rumah, dirimu pun merasa senang; namun jika di luar, kamu mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, maka saat pulang pun, kamu merasa sangat tidak senang. Sebenarnya, ini tandanya suasana hatimu sudah dikendalikan oleh orang lain dan materiil. Oleh karena itu, cara yang terbaik adalah jangan sampai dikendalikan oleh orang lain, dengan kata lain, jangan sampai kamu dipergunakan atau dikendalikan oleh segala materi yang ada di dunia ini. Mengerti? Kalian harus ingat, “tidak bergembira karena materi, tidak bersedih karena diri sendiri.” Tidak bergembira karena materi, dengan kata lain, terhadap segala benda-benda materi yang kamu lihat atau kamu temui, kamu tidak menganggapnya sebagai suatu kegembiraan, harus bisa memahami dengan jelas bahwa semua ini adalah palsu. Tidak bersedih karena diri sendiri, dengan kata lain, jangan karena diri sendiri sudah menerima kenyataan yang pahit lalu merasa sedih. Tidak bersedih karena diri sendiri adalah tingkat kesadaran ketiadaan Aku, yakni tidak merasakan diri sendiri terus dipengaruhi oleh segala hal-hal duniawi. Tidak bersedih karena diri sendiri, dengan kata lain, karena dunia ini telah membawa banyak sekali kepedihan padamu, namun kamu jangan menganggap kalau dirimu sudah merasakan kepedihan atau kesulitan ini. Dengan kata lain, meminta kamu melupakan diri Aku, agar kamu terbebas dari diri sendiri, diri sendiri harus bisa meninggalkan kesedihan ini.

Karena kita hidup di dunia ini, akan mengalami banyak sekali kesedihan, maka kita jangan sampai terpengaruh oleh segala rupa, perasaan, pikiran, perilaku, dan kesadaran di dunia ini. Dengan kata lain, segala hal yang kita rasakan, segala hal yang kita pikirkan, semua yang kita lihat dan hal-hal yang bermunculan dalam kesadaran kita, semua ini janganlah kita ikuti. Jangan merasa kalau diri sendiri, “Aduh, saya ini sedih, lalu sangat sedih. Hal ini membuat saya menderita, lalu merasa sangat menderita”. Jangan biarkan dirimu menanggung hal-hal ini secara psikologis, karena jika jiwamu menanggungnya, mungkin saja psikologis kamu sedang menggunakannya. Dengan kata lain, tubuh alami kamu yang kosong ini sesungguhnya adalah supaya kamu bisa menerima hal-hal yang berhubungan dengan konsep ideologi ini.

Contoh sederhana, jika kamu memiliki suatu benda atau materi, lalu di rumahmu terdapat sebuah gudang, maka kamu bisa mengumpulkan benda-benda ini. Benar tidak? Akan tetapi, jika sebuah benda yang kosong tak berwujud, lalu bagaimana seharusnya kamu menerimanya? Apakah dengan menggunakan balon? Kalau begitu kamu juga seharusnya memiliki sebuah “balon” untuk menerima benda-benda yang bersifat kosong ini. Akan tetapi, setelah kamu menerima benda-benda ini, maka kamu akan memiliki 2 macam benda yang berbeda, yang satu adalah benda-benda yang diterima dengan menggunakan semacam wadah; yang satunya lagi adalah suatu konsep pemikiran, dia adalah kosong, dia adalah ilusi, seperti kamu memiliki sebuah balon, benda-benda ini akan masuk ke dalam hatimu. Master sekarang mengajarkan kalian, sebagai praktisi Buddhis, jangan miliki “balon” ini, sebaliknya kita harus bisa meledakkan balon ini, harus bisa menjadi ketidakakuan. Jauh di dalam jiwa kalian jangan ada suatu benda yang menerima “luka batin” kamu, maka jiwamu tidak akan terluka. Mengerti? Karena jiwa seseorang bisa terluka, karena luka itu masuk ke dalam jiwamu dan berhenti di sana, makanya kamu baru bisa terluka. Mengerti? Saat jika kita benar-benar terluka, itu karena kamu memiliki suatu “benda” yang menerimanya, maka hatimu baru bisa terluka. Jika bahkan hati ini pun sudah tidak lagi kamu miliki, lalu bagaimana mungkin hatimu akan terluka?

Maka lingkungan luar adalah suatu ruang benda, sedangkan di dalam adalah suatu benda yang bersifat kosong, sedangkan kekosongan materi ini sesungguhnya adalah meminta kamu melupakan keakuan, melupakan diri sendiri, mengoyak dan menghilangkannya, tidak ada lagi benda ini. Maka, baik kamu memuji saya ataupun memarahi saya, atau mengkritik saya, atau membuat saya bersedih, namun saya tidak memiliki benda berenergi untuk menerimanya, maka saya tidak akan terluka, saya juga tidak akan bersedih, saya tidak akan penuh emosi, saya juga tidak akan sakit hati. Orang yang terluka, karena dia memiliki “sesuatu” di hatinya. Karena setelah Anda memarahinya, lalu dia menerima “caci-maki” kamu ini. Benar tidak? Contoh sederhana, dalam keseharian kalian, jika ada orang yang mengatakan kalau ingin memukul kamu, maka dalam pikiranmu begitu terpikir kalau dia mungkin akan memukul saya, lalu sekujur tubuh saya akan segera merasa tidak nyaman. Karena dalam hatimuterdapat suatu wadah yang berisikan “memukul kamu”, suatu benda yang seperti wadah yang bisa menampung konsep pemikiran ini, kamu menerima dan membiarkannya masuk, maka selanjutnya hatimu akan menjadi sedih, lalu membuat kamu tertegun dan berpikiran bodoh. Jika kamu tidak memiliki benda ini, lalu apakah kamu masih akan bersedih saat orang lain memarahimu? Jika kamu tidak memiliki benda ini, kamu sama sekali tidak akan memedulikan apapun, tidak akan mengindahkan apapun yang dikatakannya. Kapan ini bisa hilang? Saat orang sakit jiwa memarahimu, apakah kamu akan marah? Karena kamu tahu kalau dia sakit jiwa, maka saat itu, “wadah” kamu ini tidak ada, tidak berada di sana. Ketika “wadah” kamu ini muncul, maka sesungguhnya kamu akan terluka. Mengerti?

Oleh karena itu, Master menasihati kalian, tidak bersedih karena diri sendiri, yakni diri sendiri jangan bersedih, jangan biarkan dirimu menanggung pengaruh dari segala rupa, perasaan, pemikiran, perilaku, dan kesadaran di dunia ini, jika kamu tidak merasakan apapun, tidak menerimanya, maka kamu tidak akan menderita. Misalnya, sekarang jelas-jelas hati saya merasa sangat menderita, namun saya tidak merasakannya, saya tidak merasa menderita. Suatu hal yang terus-menerus kamu pikirkan, namun sekarang kamu tidak memikirkannya lagi. Karena hal ini sebenarnya memang tidak seharusnya kamu pikirkan, benar tidak?  Perilaku dan kesadaran adalah tindakanmu dan kesadaranmu, kamu tidak melakukannya, maka tidak akan membawa “buah karma” atau akibat bagimu; jika dalam kesadaranmu, kamu tidak memikirkannya, maka kesadaranmu akan sangat bersih. Mengapa kesadaranmu tidak bersih? Karena kamu memikirkannya, kamu ingin mendapatkan suatu benda, kamu berpikir terlalu banyak, namun kamu tidak mendapatkannya, maka kamu mulai merasa sedih. Kesadaran ini harus bisa dikendalikan oleh diri sendiri, dan perilaku ini juga harus dikendalikan oleh diri sendiri. Akan tetapi, sesungguhnya apa yang benar-benar bisa mengendalikannya? Tidak ada. Tidak ada apapun, apa yang kamu kendalikan? Bahkan kesadaran pun sudah tidak ada lagi, lalu apa yang kamu kendalikan? Penderita sakit jiwa tidak memiliki kesadaran. Sedangkan kita bukan penderita sakit jiwa, kita memiliki kesadaran, namun kita harus bisa melatihnya menjadi seperti tiada kesadaran, seperti yang pepatah mengatakan, “kebijaksanaan yang besar tampak seperti bodoh”. Orang yang sudah jelas memiliki kebijaksanaan yang sangat tinggi, namun dia sepertinya terlihat bodoh. Harus memiliki kepandaian dan kebijaksanaan, namun bukan benar-benar bodoh. Mengerti? Oleh karena itu, miliki kebijaksanaan besar namun jangan menonjolkannya keluar – terlihat seperti orang bodoh. Saat kita membina sampai suatu waktu tertentu, kebijaksaaan besarmu sudah melampaui kebodohanmu, melebihi kebodohanmu, maka orang ini baru benar berpura-pura bodoh. Walaupun ada sebagian orang yang bisa berpura-pura, namun sikapnya tidak cukup meyakinkan, seringkali bisa terlihat oleh orang lain, kalau begitu namanya benar-benar bodoh. Kalau kamu memang hebat, jangan berpura-pura, namun bersikaplah alami, seperti suatu perilaku yang muncul keluar dengan sendirinya. Dengan kata lain, saya tidak memiliki kesadaran – pemikiran, saya benar-benar tidak berpikir, saat itu wajahmu benar-benar terlihat tidak memikirkan apapun. Jika setelah memikirkannya, lalu kamu menutupinya, seperti kamu menggali sebuah lubang namun tidak menanam bom, hanya untuk menakut-nakuti orang lain, dengan jika Anda benar-benar menimbun sebuah bom, walaupun sumbu sulutnya tidak dipasang, namun kedua hal ini akan memberikan perasaan yang tidak sama. Seperti banyak orang yang berkunjung ke rumahmu, namun kamu sama sekali tidak berpikir untuk menjamunya makan, tetapi kamu berkata, “Sudah lapar bukan? Mari mari, makanan sudah siap, mari kita makan”, namun pada kenyataannya kamu tidak punya sayur di dapur dengan kamu sudah menyiapkan sayur, keduanya sepenuhnya memiliki definisi yang berbeda.

Kalian harus memahami bahwa, seorang praktisi Buddhis harus bisa mengendalikan diri sendiri, harus bisa mencapai tingkat kesadaran yang mampu melupakan diri sendiri, yakni bisa mengontrol diri sendiri, bisa sepenuhnya melupakan keadaan diri sendiri, tidak lagi terpengaruh oleh segala hal di dunia ini, lalu ditambah dengan mengandalkan keuletan dan kegigihan diri sendiri. Lalu bagaimana kamu bisa mempertahankan keuletan diri? Murid saya ini, yakni ibu tua ini, memiliki pengalaman yang sangat mendalam. Menurut kamu, beberapa tahun kamu pada awalnya, susah atau tidak? Sangat susah sekali. Saat mengendalikan diri, kamu merasa sedih atau tidak? Sangat sedih. Namun kamu memiliki niat yang teguh, kamu bisa terus bertahan, maka kamu akan berhasil. Dalam proses ini, banyak kali kamu tidak bisa mengendalikan diri, benar tidak? Hampir tidak bisa berpikiran terbuka dan ingin kabur, masih berpikir kalau saya hidup sendirian pun akan baik-baik saja, pada saat itu, kamu memiliki pemikiran seperti ini. Namun kamu tetap teguh mengendalikan diri sendiri, terakhir kamu yang menang, karena kamu memiliki kegigihan. Jika sekarang kamu tinggal sendirian, coba pikirkan, sampai tiba waktunya, kamu meninggal di rumah pun tidak akan ada seorang pun yang tahu, betapa menyedihkannya. Ini adalah suatu masalah yang sangat nyata. Kemudian, sebaliknya, masalah kedua, coba kamu pikirkan, jika kamu membenci anak, lalu apakah anak bisa memberikanmu bantuan yang paling baku? Dia pasti tidak bisa, bahkan dia tidak akan mempertemukan kamu dengan cucumu. Lalu bagi kamu orang tua ini, apa baiknya sifat keras kepala seperti ini?

Oleh karena itu, seorang praktisi Buddhis yang sudah mengetahui kalau dirinya salah, harus terus berusaha memperbaikinya, memiliki keuletan dan kegigihan untuk memperbaikinya. Memiliki niat tidak hanya akan membuatmu berusaha keras berkembang ke arah yang positif, maka harus memiliki keuletan, sesungguhnya keuletan ini juga mengandung tetap bertahan walau sangat menderita, ini adalah penderitaanmu dan keyakinanmu yang kuat. Seperti banyak orang yang saat menghadapi kesulitan, dia bisa tetap bertahan dalam penderitaan, karena dia sudah menjalani penderitaan ini, lalu kebaikan akan mendatanginya. Benar tidak? Saat kamu periksa ke dokter pun begini juga. Sewaktu dokter memberi suntik kepadamu, sakit tidak? Akan tetapi setelah disuntik, kamu tidak sakit lagi. Saat dokter gigi meratakan gigimu, sakit tidak? Namun sesudahnya, kamu tidak akan merasa sakit lagi. Memangnya karena meratakan gigi akan sakit, lalu kamu tidak mau menambal gigi? Seperti itu saja logikanya. Begitu juga dalam menekuni Dharma. Jika seseorang tidak bisa terus bertahan, tidak memiliki keuletan untuk membina dirinya, memperbaiki kekurangan pada dirinya, maka orang ini memiliki masalah yang sangat besar dalam menekuni Dharma. Maka keuletan dan kegigihan sangat penting. Karena setelah kamu mampu teguh bertahan, maka kamu pasti bisa melewati halangan; jika kamu memiliki kegigihan, maka kesulitan tidak akan lagi terasa sulit. Contoh sederhana, kamu mendaki gunung, sulit tidak? Namun setelah kamu tiba di puncak, maka selanjutnya apakah jalan turun ke bawah masih akan terasa sulit? Kamu sudah tidak lagi memiliki kesulitan. Oleh karena itu, diri sendiri harus mengerti, harus bisa memahami, saat kita sudah bisa mengatasi kesulitan, maka kita pasti bisa terus bertahan dan memiliki kegigihan untuk hidup.