31. Menjalani Pembinaan Keras Sampai Mencapai Anutpattika Dharma Ksanti (Bagian 1) 苦修行到无生法忍(一)

31. Menjalani Pembinaan Keras Sampai Mencapai Anutpattika Dharma Ksanti (Bagian 1)

Hari ini kalian bisa duduk di sini dengan baik dan mengikuti Master belajar Buddha Dharma, men-dengarkan wejangan Master, ini adalah keberuntungan kalian. Tunggu sampai suatu hari nanti, saat tidak bisa belajar lagi, itu berarti kalian sudah tidak memiliki keberuntungan. Master beritahu kalian, sekalipun bencana besar tidak datang sekarang atau datang lebih lambat, namun bencana besar manusia yang sesungguhnya sudah datang sejak dini, itu adalah “bencana” dalam pikiran kita. Bencana dalam pikiran kita yakni saat kamu mempersulit diri sendiri, setiap hari tidak bisa berpikiran terbuka, bersedih, ingin bunuh diri, dan lain-lain. Jangan mengira karena bencana alam dan malapetaka masih belum menghampiri dirimu, lalu merasa senang. Ketahuilah, bahwa depresi dan kesedihan (ketidaksenangan) dalam jangka panjang, sesungguhnya menandakan bahwa “bencana” sudah mendatangi dirimu. Misalnya, saat seseorang tiba-tiba divonis menderita kanker, bukankah berarti bencana besarnya sudah tiba?

 

Hari ini Master akan melanjutkan pembahasan tentang pembinaan diri dengan kalian. Kita setiap hari membahas tentang membina pikiran dan membina perilaku, sesungguhnya, membina diri adalah suatu bentuk “usaha”. Apabila kamu membina diri dengan baik, berarti orang ini memiliki usaha – kerja keras. Karena orang yang membina dirinya, pertama, dia tidak akan sering memandang rendah orang lain. Banyak orang yang merasa diri sendiri hebat, masih muda, memiliki latar pendidikan yang bagus, juga punya sedikit uang, apapun bisa dijadikan “modal” bagi dirinya, jadi dia meremehkan orang lain. Seseorang yang tidak membina dan menekuni Dharma, bahkan matanya pun akan sering memandang rendah orang lain, seseorang yang non-praktisi Buddhis baru bisa sering membicarakan orang lain. Hanya orang yang sungguh-sungguh menekuni Dharma, dan mampu memahami kebenaran-kebenaran ini baru tidak akan memandang rendah orang lain. Maka, seorang praktisi Buddhis akan melihat orang lain dengan pandangan yang welas asih, matanya penuh dengan welas asih, bukan mata yang meremehkan orang lain. 

 

Untuk membina diri diperlukan latihan keras. Hanya saat seseorang sudah merasakan penderitaan, dia baru tahu untuk membina perilaku dan pikiran, namun jika dia tidak menderita, maka dia tidak akan membina pikirannya, maka dinamakan sebagai pembinaan keras.  Seseorang yang memiliki jasa kebajikan dari menjalani latihan keras, dia tidak akan memandang rendah orang lain. Jika kamu berpikiran baik hati terhadap orang lain, maka kamu tidak akan memandang rendah orang lain; Apabila memandang rendah orang lain, maka orang ini tidak akan membina pikirannya baik-baik. Jika seseorang yang datang menyembah Buddha dan Bodhisattva, selain itu dia bersembahyang dengan hati yang sangat tulus, namun jika dia bersikap sembarangan, bahkan memandang rendah orang lain, tidak tulus, berarti dia tidak menekuni Dharma dengan baik, ini merupakan suatu penghinaan bagi Bodhisattva, akan ada halangan karma buruknya. Sama saja, karena kalian, setiap orang di sekretariat ini mewakili Bodhisattva, maka tidak peduli kalian hari ini di sini mengetik, maupun yang menerima telepon, setiap perbuatan yang kalian lakukan harus bisa dipertanggungjawabkan kepada Guan Shi Yin Pu Sa, harus bisa dipertanggungjawabkan kepada semua makhluk. Karena kalian adalah praktisi Buddhis, jika kalian tidak berwelas asih, lalu meremehkan orang lain, berarti kalian belum membina diri dengan baik, oleh karena itu, kalian baru bisa merasa kalau orang lain menyebalkan. Melatih diri dengan keras berarti harus bisa mengendalikan diri sendiri, menekan diri sendiri, itu baru yang dinamakan dengan menjalani penderitaan, baru bisa berhasil. Harus bisa menjadikan penderitaan sebagai kebahagiaan. Karena setiap makhluk hidup memiliki sifat Kebuddhaan, mereka semua adalah Bodhisattva, mereka adalah Buddha. Bersikap begitu galak terhadap orang lain, memangnya tidak merasa bersalah? Bahkan terhadap binatang sekalipun, kita tidak boleh memandang rendah mereka, tidak boleh memarahi mereka. Apabila kamu terus-menerus mengucapkan kata-kata buruk pada segelas air, maka setelah air ini dibekukan, maka gambaran yang muncul akan sangat buruk bentuknya; Namun jika kamu terus-menerus mengucapkan pujian pada segelas air, maka setelah dibekukan, ia akan membentuk gambaran yang sangat indah.

 

Seseorang yang memahami sifat Kebuddhaan akan bersikap jujur, karena manusia pada dasarnya palsu dan tidak nyata. Apakah yang dimaksud dengan palsu? Setiap hal yang dilakukan manusia, semuanya palsu. Misalnya, hari ini membeli suatu benda, yang kamu lihat adalah benda yang nyata, namun beberapa hari kemudian, benda itu rusak dan kamu membuangnya, maka benda ini sudah tidak ada lagi, bukankah ini adalah palsu? Segalanya adalah palsu, tidak nyata. Dari yang nyata sampai menjadi palsu melalui suatu proses, dari dilahirkan sampai meninggal juga tidak nyata, segala hal di dunia ini tidak nyata, semuanya adalah kosong. Keberadaan manusia di dunia ini pun adalah palsu dan tidak nyata, ia adalah raga bernyawa yang palsu dan tidak nyata. Maka, sifat Kebuddhaan kita harus bisa menunjukkan sesuatu yang lebih nyata. Walaupun segala hal di dunia ini adalah palsu, namun harus menunjukkan penampilannya menjadi lebih nyata. Dengan kata lain, hari ini kamu bisa berubah, namun kamu menunjukkan penampilan yang benar dan nyata, yakni berusaha membuatnya supaya tidak berubah. Karena di dunia ini, kita bisa meminjam kepalsuan untuk membina kebenaran.

 

Seseorang yang benar-benar menekuni Dharma akan bersikap rendah hati, sama juga seperti saat berguru. Kepada guru siapa kalian belajar, maka kalian akan mengikuti Pintu Dharma yang diajarkannya, prinsipnya sama saja.  Selain itu, jangan sering merendahkan Pintu Dharma orang lain, atau mengira diri sendiri (atau Pintu Dharma sendiri) yang paling bagus. Dengan kata lain, saat kamu sudah menekuni Dharma, jika kamu sudah berguru kepada guru ini, maka sebaiknya kamu jangan meremehkannya. Sebaiknya kamu mempelajari Pintu Dharma yang dirimu rasa paling bagus, jangan pernah sekalipun menilai baik buruknya Pintu Dharma lain, juga jangan pernah merasa paling hebat. Sekali lagi Master peringatkan, kalian adalah pengikut Master, adalah murid Master, jangan pernah sekalipun menjelek-jelekkan Pintu Dharma manapun. Semuanya baik, semuanya harus dihormati.

 

Bodhisattva mengatakan: penderitaan terbesar manusia diciptakan oleh dirinya sendiri, bencana manusia juga berasal dari dirinya sendiri. Bila dikatakan dari skala besar, seperti merusak lingkungan hidup; Bila dalam skala kecil, yakni merusak lingkungan kehidupan diri sendiri. Banyak wanita yang sangat galak, bukankah itu sama saja dengan merusak lingkungan kehidupannya sendiri? Banyak orang yang tidak makan dengan baik, tidak istirahat dengan baik, tidak bekerja dengan baik, bukankah sama saja dengan merusak lingkungannya sendiri? Makanya ia baru bisa jatuh sakit, atau menderita kanker, benar tidak? Inilah mengapa dikatakan, manusialah yang selamanya merusak lingkungannya sendiri. Mengapa seseorang bisa merasa kalau dirinya sendiri sangat hebat? Karena dia sering memikirkan dirinya sendiri, “Saya seharusnya begini dan begitu, saya itu seperti ini dan itu.” Setiap orang mengira dirinya sendiri yang paling besar. Kalian hari ini menekuni Dharma, maka kalian harus bisa melepas, jangan menunggu sampai saat kalian hanya bisa berbaring di atas ranjang, baru menyadari bahwa apa yang seharusnya saya lakukan. Mengapa tidak mulai dari sekarang untuk berpikiran terbuka dan melepas? Jiwa yang kotor, roh yang kotor, dosa karma buruk yang kotor, semuanya berada pada tubuh kalian, membuat otak kalian menjadi kacau dan tidak jelas, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Maka, kita harus bisa melepaskan diri sendiri, “Saya tidak memerlukan gengsi apapun, sesungguhnya saya tidak memiliki kelebihan apa-apa.” Kita harus bisa belajar melepas. “Yang saya inginkan adalah hidup, yang saya butuhkan adalah pembinaan diri saya sendiri, yang ingin saya capai adalah kesadaran spiritual diri sendiri, yang saya mau adalah di masa depan nanti bisa pergi ke Alam Sukhavati atau pergi ke Empat Alam Brahma”, itulah kesadaran spiritual yang sesungguhnya. Yang diinginkan adalah hal-hal yang benar-benar berada dalam jiwa kita, bukannya perabotan rumah tangga, atau kekayaan, atau ketenaran … Apa gunanya mengejar hal-hal seperti ini? Oleh sebab itu, harus bisa mengurangi keinginan kita akan ketenaran, kekayaan, kedudukan, dan angan-angan. Kita harus bisa “menghambarkan” keakuan, yakni menjadi semakin tidak mementingkan diri sendiri, sesungguhnya inilah peningkatan kesadaran spiritual diri sendiri dalam menekuni Dharma. Terkadang, ini tidak melambangkan kalau kamu tidak punya harga diri, juga tidak berarti kalau tingkat kesadaran spiritualmu menurun. Seseorang yang semakin rendah hati dan semakin sopan, akan lebih memberikan kesan yang anggun pada orang lain, kamu akan lebih dihargai orang lain. Sedangkan orang yang sangat mementingkan gengsinya malah akan dipandang rendah oleh orang lain. Maka jangan terlalu mementingkan diri sendiri, harus bisa melepaskan keakuan sendiri, kamu baru bisa hidup dengan leluasa dan nyaman. Harus menjadi seperti gandum, semakin penuh bulirnya, pucuknya akan menunduk semakin rendah, yakni menjadi semakin rendah hati. Buddha dan Bodhisattva mengatakan: masa lalu tidak bisa dimiliki, saat ini tidak bisa dimiliki, masa depan tidak bisa dimiliki. Apapun tidak bisa dimiliki, semuanya tidak ada – kosong. Maka, kita harus bisa merendah. Ada pepatah yang berbunyi, “Di luar langit masih ada langit, di luar gunung masih ada gunung” (arti: selalu ada yang lebih hebat), maka merendahkan orang lain sama dengan merendahkan diri sendiri. Yang Master katakan ini adalah ajaran Buddha Dharma di dunia, menggunakan bahasa yang terbaik dan paling bijaksana, semoga kalian bisa mempelajarinya dan memahaminya baik-baik.

 

Kita harus bisa melihat semua makhluk. Semua makhluk berada di sisi kamu! Penderitaan semua makhluk adalah penderitaan kita. Maka dalam menekuni Dharma, harus bisa melepaskan diri sendiri dan bisa menjalani penderitaan. Ingatlah, harus sering memiliki konsep pemikiran ketidakakuan. Yakni tidak ada diriku sendiri. Ketidakakuan, yaitu tiada “aku”, tidak ada diri sendiri. Sering berpikir, “Saya tidak melakukan apapun, saya tidak memiliki kemampuan apapun, saya sangat kecil”. Inilah bentuk sukacita dan keseimbangan batin. Seseorang yang sering melakukan “perbuatan binatang”, maka ia akan sering berpikir layaknya binatang. Dengan kata lain, sering melakukan perbuatan-perbuatan layaknya binatang, maka otaknya juga akan sering dipenuhi dengan pemikiran binatang, lama kelamaan pola pikirmu akan menyimpang, bukan lagi pemikiran yang benar. Kita harus memahami pentingnya menghargai dan menyayangi diri sendiri, harus belajar bersikap sopan dan serius. Seorang praktisi Buddhis harus belajar bersikap sopan dan serius, harus bisa menjaga keagungan Tanah Suci Buddha, coba lihat saja, bukankah Buddha dan Bodhisattva sangatlah agung? Ketika melihat Buddha dan Bodhisattva, akan selalu muncul perasaan takjub dan hormat. Menekuni Dharma sama dengan belajar menjadi sopan dan serius, menekuni Dharma harus bisa belajar membina dan melatih moralitas diri sendiri, harus mempelajari kebaikan, keadilan, kesopanan, kebijaksanaan, dan keyakinan, harus sering memiliki pemikiran ketidakakuan. Sebelum dilahirkan, apakah ada aku? Setelah dilahirkan, siapakah aku? Saat dilahirkan, apakah kamu tahu siapa dirimu? Setelah meninggal, lalu siapa pula dirimu? Hari ini namamu adalah XXX, setelah kamu meninggal, apakah nama ini masih ada? Manusia datang ke dunia ini seperti bertamasya ke suatu tempat, seumur hidup yang singkat ini pun akan berlalu begitu saja. Oleh karena itu, sehari kita hidup sebagai manusia, maka kita harus bisa berpikir bahwa sesungguhnya tidak ada apapun yang dimiliki oleh saya. “Saya datang ke dunia ini tanpa memiliki apapun, maka saat pergi meninggalkannya juga tidak membawa apapun. Saya tidak mengejar ketenaran, juga tidak berselisih demi kekayaan, uang bagi saya tidak memiliki daya tarik apapun, ketenaran dan keuntungan pun tidak memiliki daya tarik apapun bagi saya, nama baik juga tidak menarik bagi saya, bahkan saya sudah tidak memiliki diri sendiri, lalu apalagi ketenaran dan kekayaan yang saya kejar?” Seseorang yang tidak mengejar ketenaran dan kekayaan akan hidup dengan leluasa dan damai; Dengan mengurangi nafsu keinginan akan membuat seseorang hidup bebas dan nyaman. Harta benda yang kamu miliki hari ini hanyalah kepemilikan untuk sementara, adalah sesuatu yang kamu miliki untuk sementara. Misalnya, sebelum orang tua meninggal, rumah ini masih atas nama orang tua; Namun setelah orang tua meninggal, bukankah rumah ini pun menjadi milik anak-anak? Apakah rumah ini masih milik orang tua? Apakah orang tua kalian bisa memiliki keabadian? Rumah mereka pun tidak bisa kamu miliki untuk selamanya. Maka, jangan lagi berpikiran buntu, semua kepemilikan sementara akan menjadi milik orang lain di masa depan nanti, ini bukanlah kepemilikan yang sesungguhnya, hanyalah kepemilikan untuk sementara.

 

Kita harus belajar untuk bersabar – bertahan dalam kesulitan. Dalam hidup seseorang, pasti akan ada kegagalan, fitnahan, cercahan, menghadapi semua ini, kita harus belajar untuk bersabar. Tingkat kesadaran spiritual untuk bersabar sangatlah tinggi, bersabar adalah kesadaran spiritual setingkat Bodhisattva. Seseorang yang mampu bersabar, adalah orang yang telah memiliki pembinaan moralitas yang baik. Misalnya ada orang yang mengajakmu bertengkar, namun kamu tidak ikut bertengkar, berarti kamu adalah orang yang berpembinaan baik.  Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kesadaran spiritual yang tinggi, bagaimana pun kamu membicarakannya, mengkritiknya atau memujinya, atau tidak membicarakannya, ini tidak akan membawa dampak apapun bagi dirinya. Buah kesucian dari kesadaran spiritual kesabaran sangat tinggi, setara dengan buah kesucian Bodhisattva tingkat ke delapan, ini adalah tingkatan yang sangat tinggi. Jika seseorang memiliki kesabaran yang sangat baik, tidak marah-marah, maka sesungguhnya orang ini memiliki tingkat kesadaran spiritual yang sangat tinggi. Kita harus bisa bersabar, harus bisa menstabilkan pikiran. Kekurangan kita manusia adalah tidak bisa menahan diri. Oleh karena itu, kita harus belajar untuk mengendalikan diri, harus memiliki satu keadaan pikiran, yang dengan kata lain adalah harus bisa menahan diri, harus bisa menghilangkan keakuan. “Tiada penderitaan, tiada penyebab penderitaan, tiada kelenyapan, dan tiada jalan pembinaan”, maknanya adalah harus bisa menghilangkan seluruh penderitaanmu, maka harus bisa bersabar, ini yang disebut sebagai “wu sheng fa ren – anutpattika dharma ksanti (ketiadaan kesabaran dharma”. Seseorang yang tidak mampu bersabar dan tekun memajukan diri berarti tidak memiliki kebijaksanaan, ia belum mencapai kesadaran spiritual Bodhisattva. Membina diri sampai anutpattika dharma ksanti – ketiadaan kesabaran dharma, sesungguhnya adalah ketiadaan kemelekatan pikiran, dengan kata lain, sudah tidak mementingkan apapun, di mana pun sama saja, sudah tidak masalah lagi, maka pikiranmu sudah tidak lagi melekat.

 

Kita harus belajar untuk memiliki anutpattika dharma ksanti – ketiadaan kesabaran dharma (wu sheng fa ren). Anutpattika dharma ksanti adalah buah kesucian tingkat tinggi Bodhisattva. “Anutpattika” – wu sheng (tiada lahir), berarti tidak dilahirkan atau muncul keluar, “dharma-kṣānti” – fa ren (kesabaran dharma) adalah kesabaran di alam dharma. “Anutpattika dharma ksanti – ketiadaan kesabaran dharma” adalah bahkan pikiran untuk bersabar ini pun sama sekali tidak terlahir keluar. Dengan kata lain, ini adalah kesabaran yang sama sekali tidak dirasakan, maka disebut dengan “Anutpattika dharma ksanti – ketiadaan kesabaran dharma”. Yakni, saya sama sekali tidak merasa kalau saya perlu bersabar, selain itu pikiran untuk bersabar ini pun tidak muncul. Orang lain mengkritik saya, namun saya sama sekali tidak marah, saya hanya merasa kalau ini adalah suatu pandangannya saja, tidak membawa dampak apapun bagi saya. Lalu mengapa saya harus marah? Banyak orang yang menyadari kalau diri sendiri harus bersabar, “Aduh, saya kesal sekali. Tidak boleh, saya harus bersabar, saya adalah praktisi Buddhis”, lalu masih mengira kalau diri sendiri memiliki tingkat kesadaran spiritual yang sangat tinggi. “Saya adalah seorang praktisi Buddhis, maka saya harus bersabar, biarkan saja kamu memarahi saya, atau memukul saya, namun saya akan tetap bersabar”, sesungguhnya kesabaran seperti ini bukanlah kesabaran tingkat tertinggi. Apabila kamu mengira karena orang lain memarahimu, lalu kamu harus bersabar, maka itu sesungguhnya bukanlah kesadaran spiritual tertinggi dalam menekuni ajaran Dharma. Harus belajar, saat orang lain memarahimu, dan kamu tidak merasa kalau dia sedang memarahimu, ini adalah suatu “tangga” untuk meningkatkan kesadaran spiritualmu, ini adalah suatu jodoh pendukung, ini adalah sumber kekuatan untuk mendorongmu lebih maju lagi, dia menciptakan situasi seperti ini bagimu supaya kamu bisa maju dengan lebih cepat.  Misalnya, di rumah, pasanganmu memarahimu, maka kamu harus bisa menganggapnya sebagai suatu keadaan untuk meningkatkan kesadaran spiritualmu, sedangkan kesabaran seperti ini adalah suatu kesabaran dharma. Kesabaran dharma adalah kesabaran tanpa kesadaran, yakni seperti tidak terjadi apa-apa, kamu memarahi saya, namun saya tidak merasakan apapun. Seperti banyak orang mengatakan: “Maaf, kata-kata saya tadi mungkin membuat dirimu tidak senang.” “Oh, tidak-tidak.” Dia benar-benar tidak merasakan apapun. Sedangkan orang zaman sekarang sangat sensitif sekali, sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri sendiri, namun dia malah sengaja mengaitkannya dengan dirinya sendiri – “Yang kamu bicarakan adalah saya”. Setiap kali setelah Master memberikan wejangan kepada kalian, banyak orang yang berkata, kalau Master sedang membicarakan dirinya. Kalian setiap orang merasa kalau Master sedang membicarakan kalian, namun yang sesungguhnya Master katakan adalah suatu fenomena, saya tidak membicarakan kalian. Saat saya sedang memberikan wejangan kepada kalian, di dalam pemikiran saya tidak ada pikiran untuk membicarakan siapapun, yang saya bicarakan adalah suatu fenomena. Akan tetapi kalian masing-masing yang mengaitkannya dengan diri sendiri, lalu duduk di sini dan merasa sangat sedih, Master hari ini kembali mengkritik saya. Sering ada murid yang datang dan bertanya kepada saya: “Master, apakah yang Anda bicarakan hari ini adalah saya?” Saya benar-benar tidak pernah merasa demikian, namun agar dia merasa kalau yang dia katakan benar, supaya dia memperbaiki kekurangannya, maka Master menjawab, “Benar”. Namun sesungguhnya, saya sama sekali tidak membicarakannya. Inilah contoh mengaitkan sesuatu dengan diri sendiri, seperti menggali sebuah lubang sendiri lalu menjebloskan diri ke dalamnya.