20. Mengumpulkan Jasa Dan Kebajikan Tanpa Keakuan Dan Kemelekatan Rupa 积功累德无我无相

20. Mengumpulkan Jasa Dan Kebajikan Tanpa Keakuan Dan Kemelekatan Rupa

Dari manakah jasa kebajikan berasal?  Apakah dengan berdana sedikit lalu akan mendapat jasa kebajikan? Kalian harus memahami konsepnya dengan jelas. Saya pernah menceritakan satu kisah: dulu ada seorang anak gadis yang sangat miskin, dia membawa uang tabungannya yang sedikit dan mendanakannya ke kuil, alhasil biksu ketua keluar menemuinya langsung, selain itu Beliau sangat menghormatinya, membawanya bersama-sama bersembahyang kepada Buddha dan Bodhisattva. Karena dia terus-menerus mengumpulkan jasa kebajikan, pada akhirnya dia dipanggil masuk ke istana. Kemudian wanita ini kembali datang ke kuil untuk mendanakan uang, selain itu uang yang didanakan sangat banyak, akan tetapi biksu ketua tidak keluar menemuinya, karena dia – si wanita ini sudah meremehkan orang lain, tidak menghormati aturan kuil, merasa diri sendiri hebat, mengira dirinya sudah menyumbangkan begitu banyak uang, maka boleh tanpa memberi salam, bisa setiap saat dan setiap waktu menemui biksu ketua. Sesungguhnya, si biksu ketua sudah tahu bahwa wanita ini sudah tidak mendapat jasa kebajikan, dia hanya sedang melakukan perbuatan baik. Apakah jasa kebajikan itu? Jasa kebajikan adalah suatu hal yang kamu lakukan dengan segenap hatimu, itu adalah jasa; Jika hal yang dilakukan bisa membuat orang lain terbantu, maka itu adalah kebajikan atau moralitas. Segala hal yang dilakukan dari lubuk hati yang terdalam untuk membantu orang lain disebut sebagai jasa kebajikan.

Seorang praktisi Buddhis harus memiliki kesadaran spiritual, juga harus memiliki jasa kebajikan secara lengkap. Dengan kata lain, baik jasa maupun kebajikan – moralitas harus dimiliki seseorang tanpa kurang salah satunya. Sekalipun dirimu dari dalam hati sepanjang waktu berpikir, “Aduh, saya harus membantunya”, yang keluar dari dalam hatimu ini adalah jasa; Namun jika tidak melakukannya, tidak pernah membantu orang lain, maka tidak ada kebajikannya. Apabila seseorang sepanjang hari dari pagi sampai malam membantu dan menjaga orang lanjut usia, namun dalam hati ia berpikir, “Tunggu sampai orang tua ini meninggal, siapa tahu akan meninggalkan banyak benda untuk saya, dia akan memberi saya banyak harta warisan.” Kalau begitu, jasanya sudah hilang, hanya tersisa kebajikan saja. Benar tidak? Oleh karena itu, seseorang harus memiliki jasa dan kebajikan secara lengkap. Seseorang yang meremehkan orang lain, pada dasarnya ia tidak memiliki jasa kebajikan. Apabila orang ini memandang rendah orang lain, matanya tidak mau melihat orang lain, tidak mau berbicara dengan orang lain, mengira gelar pendidikannya sangat tinggi, mengira dirinya sendiri sangat hebat, meremehkan orang lain, semua ini tidak ada jasa kebajikannya. Kamu tidak berhak meremehkan orang lain. Bahkan Sang Buddha pun mengatakan, “Semua makhluk memiliki sifat Kebuddhaan”, mereka semua adalah Buddha yang semula, lalu mengapa kamu meremehkan orang lain? Memangnya kamu memiliki hak apa untuk meremehkan orang lain? Oleh karena itu, orang yang sudah tersadarkan tidak akan meremehkan siapapun. Selain itu, jika seseorang tidak memiliki air mata (tidak bisa menangis), berarti hatinya terlalu kejam, orang yang berhati kejam berarti tidak memiliki welas asih. Orang yang berwelas asih tidak akan bisa “berhati keras”. Membina pikiran sama dengan membina perasaan welas asih diri sendiri, melatih diri sampai menjadi semakin baik hati, sampai menjadi semakin welas asih, sama seperti Bodhisattva yang mengasihani semua makhluk. Meskipun ada satu kalimat yang berbunyi, “Seorang pria tidak boleh mudah meneteskan air mata”, itu sesungguhnya bohong. Manusia memiliki 7 perasaan dan 6 nafsu keinginan duniawi, maka manusia seharusnya sangat baik hati. Coba kamu lihat saja para perampok yang membunuh orang dan membakar rumah-rumah, tidak akan ada seorang pun di antara mereka yang bisa menangis, walau dipenjara pun tetap tertawa-tawa. Apakah orang seperti ini bisa berwelas asih? Bisa menekuni Dharma? Maka kita jangan pernah memandang rendah dan meremehkan sifat Kebuddhaan, dengan begitu kamu tidak akan kehilangan jasa kebajikanmu.

Sering berpikir untuk orang lain, berarti orang ini sudah tidak memiliki keakuan. Jika kamu sering memikirkan orang lain, maka kamu tidak akan punya waktu untuk memikirkan diri sendiri, bukankah berarti dirimu sudah tiada keakuan? Karena sudah tidak ada diri sendiri, maka merasa senang; Jika masih ada diri sendiri – keakuan, maka ia akan membawa kerisauan. Lupakan diri sendiri, pikirkan saja orang lain, maka kamu akan berhasil. Berpikir untuk orang lain, berarti kamu memiliki kemampuan untuk membantu orang lain. Banyak orang yang hanya berpikir untuk dirinya sendiri, maka untuk menjaga dirinya sendiri saja sudah kewalahan. Hari ini seberapa besar bantuan yang bisa kamu berikan kepada orang lain, maka kerahkanlah untuk membantu orang lain, hari ini kamu punya uang segini, maka gunakan uang ini untuk membantu orang lain, maka selamanya yang akan terpikir olehmu adalah orang lain. Jangan memikirkan balas budi dari orang lain. Master sekarang mendapatkan perhatian dari begitu banyak orang, karena Master tidak memikirkan balas budi orang lain, saya hanya menghabiskan setiap menit dan setiap detik di stasiun radio atau di internet, “menabur benih” sampai lupa diri, ada satu tolong satu, setiap langkah yang diambil semuanya berdasarkan pengaturan Guan Shi Yin Pu Sa.  Jika tidak ada Guan Shi Yin Pu Sa, mana mungkin ada kita? Kita hanya melakukan sedikit, namun berapa banyak yang telah Bodhisattva berikan kepada kita? Kalian harus bisa memahami prinsip-prinsip ini. Oleh karena itu, kita harus memiliki ketidakakuan, dalam ajaran Buddha Dharma dikatakan sebagai “bertukar dengan yang lain”. Dalam bahasa kita, bisa dikatakan juga sebagai berpikir dari sudut pandang orang lain. Master beri tahu kalian, mengorbankan diri sendiri adalah jasa, berarti harus bisa melupakan diri sendiri dan mengorbankan diri sendiri, itu adalah jasa. Memandang segalanya dengan setara adalah kebajikan – moralitas, jika kamu bisa memandang semua orang secara setara, melihat semua benda secara setara, berarti kamu adalah orang yang bermoral.

Pikiranmu adalah pikiran orang lain. Jika sering berpikir, “Apa yang dipikirkan orang ini?”, maka kamu pasti bisa memenangkan hati orang ini. Misalnya, kamu sering berpikir: hal-hal yang saya lakukan sekarang, bagaimana suami saya menilainya? Sesungguhnya, kamu sudah bisa mendapatkan hatinya, karena kamu bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkannya. Oleh karena itu, harus bisa memandang pikiranmu (sebagai pikirannya), tubuhmu (adalah tubuhnya), semuanya adalah setara, maka tidak akan bertengkar. Misalnya seorang istri sedang sakit pinggang, apakah sang suaminya akan merasa seperti pinggangnya sendiri yang sakit? Jika pada saat itu dia merasa seperti pinggangnya sendiri yang sakit, maka dia akan segera pergi menghibur istrinya. Karena saat sakit, si istri menjadi mudah marah, menjadi tidak sabar, maka meski dia mengomeli kamu, namun dirimu pun tidak akan membalas omelannya. Inilah logikannya. Menekuni Dharma bertujuan untuk membuat pikiran kalian menjadi jernih dan mata menjadi jelas, harus belajar bersabar, harus melatih perilaku dan membina pikiran. Membina sifat Kebuddhaan diri sendiri adalah jasa. Dengan kata lain dalam melatih karakter, kita harus belajar membina sifat Kebuddhaan diri sendiri? Apakah yang disebut dengan sifat Kebuddhaan diri sendiri? Yakni sifat dasar diri sendiri, pikiran diri sendiri yang baik hati, yakni membina hati nurani diri sendiri. Dengan menggunakan pikiran Buddha untuk melatih diri sendiri adalah moralitas. Dengan kata lain, jika kita sering menggunakan standar Buddha dan Bodhisattva untuk diterapkan pada diri sendiri dalam melakukan segala hal, itu adalah moralitas. Misalnya, kamu mencuri barang milik orang lain; contoh kamu melihat uang orang lain jatuh, lalu kamu memungutnya; misalnya hari ini kamu melakukan satu hal yang tidak baik, kamu memukul atau memarahi orang lain, dan lain-lain, saat semua hal ini terjadi, jika kamu tidak menggunakan kesadaran spiritual setingkat Buddha dan Bodhisattva untuk menelaah dan menilainya, untuk memperbaikinya, maka kamu selamanya tidak akan memiliki moralitas.

Kalian harus ingat, perebutan tidak ada batasnya, perselisihan tidak akan pernah berhenti. Hari ini berebut dengan orang ini, besok bertengkar dengan orang itu, tidak akan ada habisnya. Yang diperebutkan adalah hal-hal yang tidak berguna. Sampai pada akhirnya, apa hasilnya? Jika memasuki keadaan perselisihan ini, maka kesadaran spiritualmu akan jatuh ke bawah, kamu akan dicemooh oleh semua orang. Hal yang baik tidak diperoleh dari perebutan, karena yang didapat dari perselisihan juga bukanlah milikmu, yang datang sesuai dengan jodohnya barulah milikmu, oleh karena itu perebutan tidak ada batasnya. Ada banyak hal seiring dengan berjalannya waktu akan terselesaikan. Misalnya, sepasang suami istri yang bertengkar hebat dan tidak bisa dipisahkan, masih bersikeras “Nanti malam kamu harus jelaskan semuanya baik-baik”, atau “Jika kamu tidak mengatakannya, maka saya tidak akan melepaskan kamu … “, pada akhirnya semua akan berakhir dengan perceraian. Apabila semua orang saling mengalah, maka hal ini seiring dengan berjalannya waktu akan memudar. Pada saat itu jika berusaha menahan diri, lama-kelamaan juga akan hilang dengan sendirinya, oleh karena itu, dengan kesabaran baru bisa mengakhirinya, sedangkan pertikaian tidak akan ada habisnya. Karena saat salah satu pihak mengalah, maka pihak lawannya pun akan berhenti, maka bersabar – mengalah adalah yang terbaik. Sang Buddha mengatakan, agama Buddha adalah agama tanpa perselisihan. Mengapa agama Buddha bisa dihormati banyak orang? Karena dia tidak pernah berselisih. Jika berselisih berarti sudah menyimpang dari ajaran agama Buddha. Apabila seseorang sering berebut dengan orang ini, atau berebut dengan orang itu, maka pasti tidak akan ada orang yang menyukainya. Kalian harus bisa memahami kebenaran di dalamnya.