4. Tujuan Membina Pikiran dalam Ajaran Buddha Dharma – (2) 学佛修心的目标(二)

4. Tujuan Membina Pikiran dalam Ajaran Buddha Dharma – (2)

Setelah memiliki tujuan pembinaan pikiran, lalu bagaimana cara untuk membina pikiran kita, bagaimana cara untuk membersihkan pikiran kita?

Ini hanya bisa dicapai dengan mengandalkan pemahaman hati kita sendiri untuk “tersadarkan”. Ter-sadarkan berarti terbuka pikirannya, kita selalu menekankan bagaimana pentingnya untuk bisa tersadarkan, namun dengan semua konsep logika yang terhampar di depan mata, seperti reinkarnasi dan hukum karma, jodoh dan takdir, maka apa lagi yang perlu disadari?

Sebenarnya, kelopak bunga yang berguguran di bawah cahaya rembulan, tanaman dan rerumputan yang ada di sekitar kita, bisa menjadi faktor pendukung untuk menumbuhkan kesadaran tersebut, setiap hal yang terjadi setiap hari dalam kehidupan kita, mungkin bisa membuat kita lebih memahami banyak hal, “tersadarkan” adalah suatu proses di mana kita bisa menerapkan dan mempraktikkan Ajaran Buddha Dharma di dalam kehidupan sehari-hari, lalu dari pengalaman-pengalaman yang kita alami itu sendiri, membuat kita kembali menyadari makna yang sebenarnya dari Ajaran Buddha Dharma, di mana proses latihan ini akan terus terjadi secara berulang-ulang.

Ini seperti latihan persiapan ujian, di mana kita terus menerapkan konsep dasar secara berulang kali, mengerjakan soal latihan secara berulang kali, dan dari proses ini kita mulai mengenal pola dasar untuk menyelesaikan soal, yang sampai pada akhirnya kita menjadi semakin mahir dan bisa menggunakan pengetahuan ini sesuai dengan keinginan kita sendiri. Setiap kali kita mempraktikkan Ajaran Buddha Dharma dengan benar di dalam proses pembinaan pikiran kita, maka tingkat kesadaran kita pun akan naik 1 poin, namun pada saat yang sama mungkin saja kita 9 kali benar di awal, tetapi yang ke-10 salah, juga mungkin saja bisa menyebabkan peningkatan yang diperoleh di awal menjadi sia-sia, maka dari itu dikatakan, dalam membina pikiran kita harus sangat berhati-hati.

Ada banyak saudara se-Dharma kita yang mempelajari wejangan Master dengan seksama, memahaminya dengan mendalam, dan membina diri dengan sangat baik, ini adalah suatu hal yang baik, karena berarti kita semua memahami kebaikan dari Pintu Dharma (aliran) ini.

Akan tetapi, dari pertanyaan yang diajukan di internet, dan bagaimana sikap dan perilaku kepada orang lain dan benda-benda di sekitar, dapat disimpulkan bahwa masih banyak orang yang berada di tahap “melunasi hutang karma”, dan masih belum sepenuhnya memahami prinsip dasar bahwa “kehidupan ini adalah Ajaran Buddha Dharma”, maupun “menekuni Ajaran Dharma berarti harus belajar menjadi manusia yang baik terlebih dahulu”.

Walaupun sifat atau emosi seseorang sudah menjadi lebih baik setelah melafalkan paritta, namun dia masih belum bisa menginstropeksi dirinya secara naluriah, masih belum bisa mengoreksi kekurangan pada dirinya sendiri, dan memperbaikinya dengan kesadaran sendiri, ini berarti Ajaran Buddha Dharma masih belum dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-harinya, masih belum menerapkan Ajaran Buddha Dharma pada dirinya sendiri.

Contohnya “jie ding hui” – menjalankan sila, ketenangan pikiran, kebijaksanaan, banyak orang yang masih tidak mengerti mengapa seseorang harus menjalankan sila, apa yang perlu dijadikan pantangan, mengapa dengan menjalankan sila bisa membuat seseorang mencapai ketenangan? Mengapa dibutuhkan ketenangan? Apa yang perlu ditenangkan?

Semua ini adalah konsep-konsep yang harus dipahami dengan benar. Sama saja dengan kisah-kisah orang-orang terdahulu yang sudah sangat sering kita dengar, kita juga harus bisa menangkap pesan apa yang ingin disampaikan, menyadari prinsip apa yang ingin diajarkan, sesuai dengan dasar Ajaran Dharma yang manakah itu, sesudah itu barulah kita bisa memahami dengan baik, mengapa mereka membuat cerita seperti itu.

Contohnya, mengapa “Dengan bersabar di dalam kesulitan bisa membuat kita lebih maju”, apa dasarnya? Mengapa sangat menekankan “ketidakakuan”, apa gunanya? Dan lain sebagainya, tidak hanya harus mengetahui pepatah-pepatah ini, tetapi juga harus bisa menjalankannya, tidak boleh hanya menjiplaknya saja, hanya dengan benar- benar memahami makna yang terkandung di dalamnya, barulah kita bisa menganalisa dan menerapkannya kembali dengan baik dan benar, logika ini sama saja seperti menggunakan rumus matematika.

Oleh karena itu, “tersadarkan” bukanlah sesuatu yang jauh dan abstrak, sebenarnya dalam keseharian kita selama menekuni Ajaran Buddha Dharma, tanpa disadari kita sudah mulai “tersadarkan”, seperti: Bagaimana cara melafalkan paritta? Mengapa setelah melafalkan paritta keadaan kita bisa menjadi lebih baik? Bagaimana cara menggunakan Xiao Fang Zi dan lain-lain, yang dilanjutkan dengan menyadari hal lainnya secara lebih mendalam lagi secara bertahap, memikirkan lebih banyak “mengapa” dan mengerti lebih banyak lagi prinsip lainnya. Orang yang membina pikirannya tidak akan berani melakukan kejahatan, sama seperti orang yang mengerti hukum tidak akan melanggar hukum, karena dia memahami aturan-nya.

Apa yang kita bina dalam pembinaan diri?

Membina diri adalah memperbaiki atau membenahi perilaku kita, tujuannya agar bisa mencapai tingkat kesadaran tertinggi – kesadaran total.

Ada tiga aspek dalam pembinaan diri, yaitu: tingkah laku yang sesuai dengan norma, larangan dalam bertutur kata, dan peningkatan kesadaran dalam sopan santun.

Sebenarnya, saat kita sudah mengetahui bahwa kekuatan buah karma buruk dalam jaring-jaring duniawi sangatlah besar, dan buah karma buruk ini berasal dari “perilaku, perkataan, pikiran”, maka kita akan lebih mudah memahami tujuan pembinaan dalam ketiga hal ini supaya tidak menanam karma buruk lagi: berperilaku sesuai dengan norma kesopanan untuk mencegah tubuh kita berbuat karma buruk; larangan dalam bertutur kata membuat kita tidak menanam karma mulut; peningkatan kesadaran dalam sopan santun yang bertujuan untuk mencegah munculnya pikiran-pikiran buruk di dalam hati kita, dengan demikian karma buruk yang dilakukan melalui pikiran akan berkurang jauh.

Apabila dapat memahami prinsip dasar ini, maka kita bisa menggunakannya sebagai patokan dalam membina diri kita sendiri, mengurangi karma buruk, dan tidak lagi menenun jaring karma yang baru.

Tentu saja, sejauh mana kita bisa memahami prinsip ini dan bagaimana menerapkannya di dalam kehidupan kita, tergantung dari kemampuan pemahaman masing-masing.

Contohnya: dalam pekerjaan, atasan Anda dengan jelas memberikan Anda pekerjaan lebih banyak, yang menyebabkan Anda harus bekerja keras setiap hari dan sering lembur, sedangkan orang lain dengan gaji yang sama, bisa bersantai, dalam situasi seperti ini, mungkin Anda bisa menahan diri untuk tidak mengumpat, atau Anda bisa mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang keterlaluan, namun di dalam hati kecil Anda, apakah Anda bisa tidak marah? Mengapa “tidak marah” sangatlah penting? Jika Anda tidak marah, apakah orang lain akan menganggap Anda sebagai pengecut? Bagaimana seharusnya cara berpikir yang benar?

Semua ini harus dipahami oleh diri kita sendiri. Setiap bisa menjawab satu pertanyaan, maka tingkat kesadaran Anda akan meningkat satu poin, karena kemampuan pemahaman yang berbeda, akan menyebabkan tingkat kesadaran yang dicapai pun berbeda. Jika tidak bisa memahaminya, maka Anda akan selalu membandingkan banyaknya pekerjaan Anda dengan orang lain, Anda akan selalu merasa diperlakukan tidak adil, dan lama kelamaan akan muncul perasaan marah dan benci, saat itu bibit karma buruk sudah tertanam dalam diri Anda tanpa disadari, malah Anda masih merasa bahwa diri Anda itu adalah korbannya, lambat laun Anda akan kehilangan tekad dalam pembinaan diri ini.

Ada pepatah mengatakan “Guru menuntun masuk, namun pencapaian tergantung masing-masing orang”, karena lingkungan tempat tinggal setiap orang berbeda-beda, masalah yang dihadapi juga tidak sama, maka Master tidak mungkin bisa memaparkan semua jawaban mengenai apa saja yang harus dipahami masing- masing individu sebagai pilihan bagi kalian semua, akan tetapi tidak peduli seberapa besar dan beragam perubahan yang terjadi, pada hakekatnya tetap memiliki prinsip yang sama, jadi masih bisa ditelusuri polanya, tujuan utamanya agar bisa memahami kehidupan ini melalui

hukum karma dan jodoh, menggunakan Pintu Dharma yang diajarkan oleh Master untuk menyelesaikan permasalahan hidup, dengan menggunakan jasa kebajikan sendiri untuk tidak lagi menjalin jodoh buruk sebagai batasannya untuk mengendalikan diri sendiri.

Dalam 3 aspek pembinaan diri, tidak membahas tentang mengumpulkan jasa kebajikan, lalu bagaimana bisa jasa kebajikan menjadi hasil dari pembinaan diri? Hasil yang langsung dibuahkan dari membina ketiga aspek ini adalah melakukan kebajikan, selalu berpikiran benar, bertutur kata baik, semua ini adalah jasa kebajikan.

Apa yang dibina dalam pembinaan pikiran?

Membina pikiran adalah aspek pembinaan yang baru muncul setelah membina diri sampai pada suatu tingkatan tertentu, bagi para pemula atau orang-orang yang belum sampai ke tahap ini, bisa memusatkan diri menghapus karma buruk dan melakukan jasa kebajikan terlebih dahulu, karena sewaktu karma buruk pada diri seseorang masih terlalu berat, hutang karmanya masih terlalu banyak, “kotoran” di dalam batin orang itu masih belum dibersihkan, maka dia masih belum sampai ke tahap pembinaan pikiran. Namun sewaktu karma buruk kita sudah terhapus sampai pada suatu tahap tertentu, biasanya saat itu dia akan mulai menghadapi ujian mimpi, seperti menghirup wangi cendana dari langit, melihat Bodhisattva tersenyum, dan penampakan lainnya, maka Anda segera akan memasuki tahap pembinaan pikiran. Inilah yang dikatakan Master, perbedaan khusus dari “membina diri di masa sekarang” dengan “membina diri di masa mendatang”. Iblis (atau mo) muncul dari dalam hati (pikiran), sebenarnya iblis hati (xin mo) memiliki hubungan yang sangat erat dengan karma buruk, sekarang kita bisa membayar hutang karma kita terlebih dahulu baru menjalani pembinaan pikiran, maka beban yang dipikul akan menjadi lebih ringan. Oleh karena itu, walaupun sama-sama membina pikiran, Pintu Dharma Master bisa mengurangi lebih banyak halangan di dalam pikiran kita, lebih mudah untuk mengatasi iblis hati di dalam diri kita, meningkatkan tingkat kesadaran, dan terlihat hasilnya.

Dari ketiga aspek pembinaan diri, kita bisa melihat bahwa pembinaan diri dan pembinaan pikiran memiliki ikatan yang sangat erat, untuk memperbaiki diri sendiri, pertama-tama harus merenungkan apakah ada perilaku yang tidak benar pada diri kita. Dan proses “kesadaran” ini adalah proses pembinaan pikiran, menginstropeksi perilaku dan pikiran sendiri, dan secara bertahap mengembangkannya ke arah yang lebih baik. Membina pikiran tidak memiliki ketentuan pasti, juga tidak ada langkah-langkah yang bisa dijalani

secara bertahap, apalagi penjelasan terstruktur mengenai cara untuk membina pikiran, karena kekuatan karma setiap orang berbeda-beda, maka halangan yang akan dihadapi setiap orang juga tidak akan sama, hal ini menyebabkan proses pembinaan pikiran yang dijalani setiap orang juga akan jauh berbeda. Tetapi, semua cara memiliki dasar prinsip yang sama, sebesar apapun perbedaan yang dialami dalam proses pembinaan pikiran, namun tujuan akhir yang ingin dicapai hanya satu, yaitu memiliki pemikiran seperti Buddha dan Bodhisattva (Pu Sa), pikiran Buddha adalah pikiran semua makhluk, pikiran Bodhisattva adalah pikiran yang berwelas asih, oleh karena hanya dengan menginstropeksi diri setiap saat, dengan meneladani pikiran Buddha dan Bodhisattva, maka kita baru bisa menemukan bagian di dalam pikiran kita yang perlu diperbaiki, dan dengan demikian perilaku kita juga bisa berubah menjadi lebih baik.

Pikiran seorang Buddha selalu memikirkan penderitaan semua makhluk, sedangkan pikiran seorang Bodhisattva selalu berwelas asih dan rela berkorban, ini adalah tingkat kesadaran yang sangat tinggi. Dan harus kita jadikan teladan serta tujuan akhir yang akan dicapai di dalam pembinaan pikiran. Membina pikiran diawali dengan menuntun jiwa (batin) kita kembali ke jalan yang benar, mencapai tingkat kesadaran di mana pikiran kita bersih dan tenang, dan sesuai dengan kenyataan, dimulai dengan mencari kekurangan dalam diri kita sendiri, menghilangkan 3 racun “tan, chen, chi” – ketamakan, kebencian, kebodohan, menghapuskan kemelekatan terhadap pandangan diri sendiri dan orang lain, dengan demikian pikiran kita bisa menjadi lebih tenang dan bisa menjalani pembinaan dengan lebih terfokus, membuat batin kita menjadi lebih bersih, dan perlahan bisa kembali menemukan sifat suci kita. Menemukan kembali sifat kebuddhaan yang sudah ada dalam diri kita, termasuk di dalamnya hati nurani, hati yang baik, lalu memperkuat dan mengembangkannya menjadi hati yang berwelas asih.

Apa yang dimaksud dengan “pikiran yang bersih”?

Memperbaiki batin kita adalah titik awal pembinaan pikiran, namun setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap makna dari kebenaran itu sendiri, bahkan bila ada dua pemikiran yang saling berlawanan, maka kedua belah pihak pasti akan berpendapat bahwa dirinya sendiri itulah yang benar. Ini adalah masalah pertama yang akan kita hadapi, apa itu definisi “benar”? Bagaimana baru bisa “benar”? Orang yang egois akan berkata “Bukankah semua orang juga begitu?” Seseorang yang sering bertengkar dengan istrinya akan berpendapat bahwa istrinya selalu tidak memperhatikan saya,

sedangkan seorang anak yang tidak pernah menghubungi ibunya yang sudah berusia 80 tahun tetap merasa dirinya benar dengan berkata: “Dulu dia bersikap kejam terhadap istri saya.” Dalam keadaan seperti ini, orang yang selama 10 tahun tidak pernah merasa dirinya itu salah, bagaimana mungkin bisa tiba-tiba tersadarkan? Apakah faktor yang bisa membuat mereka menyadari kesalahannya? Faktor ini kebanyakan berasal dari luar, seperti satu perkataan yang Master ucapkan pada waktu seminar, terkadang kesadaran yang muncul sewaktu menyetir mobil, bayangan seorang anak laki-laki yang menggandeng tangan ibunya yang sudah tua, atau teman sekantor yang bercerita tentang pengalaman tetangganya, dan lain sebagainya, semuanya mungkin bisa menjadi faktor yang dapat membuat mereka tersadarkan dan menyesali perbuatannya. Tetapi poin kesadaran ini harus didasari dengan jasa kebajikan yang dikumpulkan selama ini, itulah yang dimaksud dengan “persiapan yang lama akan terlihat hasilnya secara perlahan”, jasa kebajikan yang dikumpulkan baik dengan melafalkan paritta atau melakukan kebajikan lainnya, sampai pada tahap tertentu baru bisa berbuah, dan hasilnya bisa menghapuskan faktor karma buruk – “pikiran yang tidak benar” ini, apabila kotoran batin di dalam jiwa Anda sudah terhapuskan, barulah bisa memunculkan kembali “sifat yang tidak egois” dan perasaan untuk “mengasihi dan memaafkan”, ini adalah dasar dari sifat “berbakti”.

Pada saat yang sama, kita juga harus memahami sumber dari kekotoran batin ini: ketamakan – kebencian – kebodohan. Ada banyak hal di dalam kehidupan ini yang tidak sesuai dengan keinginan kita, dan sebagian besar ketidaklancaran ini terjadi karena ketamakan, kebencian, dan kebodohan kita sendiri, oleh karena itu disebut sebagai “tiga racun”. Baru saja mengoreksi sifat egois kita, tidak lama kemudian ada evaluasi pekerjaan di dalam perusahaan, kita lalu kembali bersaing dengan menghalalkan segala cara; baru saja menjemput ibunya pulang ke rumah dan mencairkan hubungan yang beku selama 10 tahun, hanya karena satu perkataan dari ibunya membuat dia marah sekali … sifat baik yang baru saja muncul hilang tanpa jejak.

Oleh karena itu, jika tidak bisa menghilangkan ketiga racun ini, maka perjalanan pembinaan diri ini akan menjadi sangat berat, walaupun sudah berlatih dengan baik dalam waktu yang lama, juga mungkin tetap tidak bisa menghapuskan ketiga racun ini. Hal ini hanya bisa diatasi oleh diri sendiri, saran dan bantuan orang lain serta faktor-faktor dari luar tidak bisa banyak membantu, meskipun Master mengatakan langsung di depan Anda, jangan tamak, jangan melekat, namun bila Anda sendiri tidak juga tersadarkan, tidak akan ada gunanya. Ada berapa banyak orang yang walaupun jodohnya sudah habis masih selalu memikirkan orang yang disukainya,

ada berapa banyak orang yang setelah memiliki kekayaan melimpah tidak bisa merasa puas malah kembali mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkan lebih banyak lagi dan menjadi semakin serakah … Semua ini dikarenakan mereka tidak sadar, tidak menyadari bahwa hidup ini singkat, dan nafsu keinginan itu tidaklah kekal. Meskipun sudah mengerti tentang jodoh dan hukum karma, tetapi bila diterapkan pada diri sendiri, semuanya menjadi berbeda, kita akan lupa bahwa gejolak kehidupan kita dikarenakan buah karma dari kehidupan sebelumnya yang berbuah satu demi satu seiring dengan berjalannya waktu, karena saat jodoh sudah habis, maka jalinan benang karma ini pun akan hilang; kita lupa bahwa semua hal di dalam hidup ini seperti daun dan bunga yang berguguran, semuanya palsu, karena kekayaan yang dimiliki dalam kehidupan ini adalah pahala dari kebajikan yang dilakukan di kehidupan sebelumnya, jika ingin terlahir di dalam keadaan yang baik di kehidupan selanjutnya maka harus lebih giat lagi membina diri dan mengumpulkan jasa kebajikan. Sangat jelas, dampak buruk dari ketiga racun ini selalu menyertai proses pembinaan pikiran kita, yang juga menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi seseorang dalam membina pikirannya.

Pusaka untuk mengatasi ketiga racun ini tidak lain adalah “jie, ding, hui” – menjalankan sila, mencapai ketenangan pikiran, kebijaksanaan, dengan kata lain harus mengendalikan diri sendiri, barulah pikiran kita bisa menjadi tenang dan bisa melanjutkan proses pembinaan, sampai suatu saat nanti kita bisa tersadarkan, maka akan memperoleh kebijaksanaan, dan pada saat itu racun-racun ini tidak lagi mematikan. Di tahap selanjutnya, mungkin ketiga racun ini akan muncul dalam bentuk yang lain, setelah bebas dari godaan uang; akan datang lagi godaan akan jabatan, setelah sadar dari cobaan jabatan yang tidak kekal; datang lagi godaan nafsu (godaan wanita), setelah sadar bahwa penampilan luar tidaklah abadi; kembali lagi muncul godaan akan ketenaran dan lain-lainnya.

Tidak hanya godaan saja, dalam kehidupan ini juga ada berbagai kerisauan, masalah keluarga, negara, dan dunia, setiap hal bisa membuat kita risau, hati yang risau akan terombang-ambing, dan mudah dipengaruhi oleh banyak hal, jika demikian bagaimana bisa membina pikiran dengan baik.

Manusia hidup di dunia ini, tidak terhindarkan lagi akan menjalin hubungan dengan orang lain, mungkin kita bisa mendisiplinkan diri agar tidak menumbuhkan jodoh yang buruk, namun kita tidak bisa mengontrol orang di sekitar kita untuk tidak menanam jodoh buruk, jika orang lain yang menanam jodoh yang buruk terhadap kita, atau dengan kata lain memperlakukan kita dengan tidak adil, salah paham, bahkan menghina dan memarahi kita, maka dengan “bersabar dan menahan diri” adalah cara untuk menjaga agar batin kita tetap bersih. Menahan diri bukanlah perilaku pengecut, melainkan pusaka agar kita terhindar dari jodoh yang buruk. Saat orang lain melemparkan benang jodoh buruk ke arah kita, jika kita marah dan ada kebencian di dalam hati kita, maka benang tersebut akan menempel pada diri kita, dan semenjak saat itu, jodoh karma buruk akan terbentuk. Hanya dengan bersabar dan menahan diri untuk tidak menerima perlakuan buruk orang lain, barulah jodoh buruk ini tidak tumbuh, menahan diri hanya sikap yang terlihat dari luar, yang terpenting adalah hati kita tidak bergejolak dan tidak memikirkan perlakuan buruk tersebut, inilah tahap dalam pembinaan pikiran di mana pikiran kita tetap tenang walaupun lingkungan di sekeliling kita berubah – “jing zhuan xin bu zhuan”.

Selain itu yang harus dihapuskan dari dalam pikiran kita adalah “zhi” – kelemekatan (atau keras kepala), baik kemelekatan terhadap diri sendiri maupun orang lain, sifat ini terbentuk karena pandangan atau pemahaman yang tidak menyeluruh terhadap suatu benda atau suatu hal. Karena pengalaman dan pemahaman yang dialami setiap orang berbeda-beda, maka terbentuklah pandangan menyimpang di dalam diri setiap orang yang dianggap benar oleh dirinya sendiri. Maka bisa dibayangkan, karena adanya kemelekatan terhadap pemikiran sendiri, menyebabkan penyimpangan pada pandangan kita dalam mengenali benda-benda dan mempelajari aturan yang ada di sekitar kita. Namun yang menjadi masalah adalah, kita sendiri tidak menyadari bahwa ini adalah pandangan yang menyimpang, dan membuat kita terus tertipu oleh kebenaran palsu dan berkeras hati mempertahankan pandangan yang salah ini. Solusi utama untuk menyelesaikannya adalah dengan menghilangkan “keakuan”, jangan mempelajari Ajaran Buddha Dharma berdasarkan “pemahamanku dan pandanganku”, atau dengan kata lain yang lebih umum adalah harus melihat suatu permasalahan secara “kritis dan menyeluruh”, lalu disesuaikan dengan penerapannya di dalam kehidupan nyata untuk lebih memahami Ajaran Buddha Dharma. Pikiran kita harus sering “dibersihkan”, menghapuskan karma buruk, menghilangkan kerisauan, godaan, dan kotoran duniawi lainnya, agar pikiran kita menjadi bersih, jiwa kita menjadi suci, dan bisa memunculkan kembali sifat suci (sifat dasar) kita. Setelah membersihkan sisi kerohanian kita sampai pada tingkat tertentu, maka sebagian besar sifat dasar kita yang sudah muncul, dan tidak lagi semudah itu tertutup oleh kekotoran duniawi, saat itu kita harus menjaganya dengan baik, membinanya agar lebih kokoh, dan jangan biarkan “dia” tersesat lagi, inilah detik di mana kita memasuki gerbang awal pembelajaran Ajaran Buddha Dharma.

Jika begitu bukankah hanya dengan meninggalkan keduniawian ini, barulah seseorang bisa mendapatkan ketenangan batin? Dunia ini (Alam Manusia) adalah tempat terbaik untuk membina pikiran kita, bila pikiran kita tidak bersih, maka meskipun menyendiri di dalam gunung juga tetap akan terbelenggu. Untuk mendapatkan pikiran yang bersih, bukan berarti meminta kalian untuk melepaskan semuanya, memutuskan semua jodoh, bahkan untuk menghindari jalinan jodoh lalu tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, definisi “bersih” di sini adalah bersih dan suci, bersih terbebas dari kebiasaan buruk yang kotor dan jodoh karma buruk; oleh karena itu, pikiran yang bersih hanya bisa didapatkan dengan pembinaan, bukan dengan “menghindar”.

Apa yang dimaksud dengan mencapai ketenangan pikiran?

Setiap orang memiliki jodoh dan kesempatan yang berbeda-beda untuk menjadi seorang Buddhis, ada orang yang sangat berjodoh, misalnya pada saat pertama kali mendengarkan seminar Master, segera bisa membulatkan tekad untuk mempelajarinya; ada juga yang sewaktu mendengarkan siaran Master, lalu merasa hal yang dibicarakan mirip dengan pengalamannya, mulai melaksanakan petunjuk Master, dan setelah merasakan hasilnya, baru percaya. Bagaimanapun jodohnya, jika percaya maka akan lahir ketenangan pikiran (tekad untuk menekuni Ajaran Buddha Dharma). Ketenangan pikiran ini hanya bersifat sementara, setelah sakitnya sembuh, anaknya bisa bicara, sudah mengetahui kebesaran Sang Buddha, tapi saya sangat sibuk, sibuk sekali sampai tidak ada waktu melafalkan paritta, atau awalnya bersemangat lalu perlahan menjadi malas, atau hanya melakukan apa yang disuruh, tidak mau mendalaminya, tidak memahaminya, semua ini menunjukkan bahwa pikiran mereka masih tergoyahkan. Lalu saat kembali menghadapi masalah, seperti kehilangan pekerjaan, masalah percintaan, hanya bisa jalan di tempat, tidak tahu cara menyelesaikannya; atau saya sudah melakukan sesuai dengan apa yang diajarkan Master, tapi dalam 1 bulan ini tetap tidak mendapatkan pekerjaan baru, mengapa sudah setengah tahun saya sudah mengikuti cara Master tetapi jodoh saya tetap tidak datang … Seiring dengan timbulnya masalah-masalah ini, mulai muncul keraguan. Adanya buah karma buruk akan menimbulkan kekhawatiran, dan kekhawatiran ini akan mengendalikan “saya”, hati kita pun menjadi tidak tenang. Oleh karena itu membina diri dalam Mahayana atau Roda Dharma Besar (yang bertujuan untuk menyelamatkan semua makhluk) harus didasari dengan pemahaman Roda Dharma Kecil, kita harus membina diri sendiri dengan baik terlebih dahulu, membina keluarga kita dengan baik. Karena hanya bila “tanpa kerisauan maka tidak akan ada ketakutan”, barulah kita bisa membina pikiran dan menolong orang lain.

“Ketenangan pikiran” di sini memiliki 2 makna: yang pertama memiliki tekad yang kuat, dan yang kedua memiliki tujuan yang kokoh; dan keduanya dibangun di atas dasar aturan yang benar, mengerti perbedaan antara pengamalan Ajaran Buddha Dharma di dalam kehidupan duniawi dan untuk meninggalkan keduniawian, memahami hukum karma, mempercayai keberadaan dunia roh, mengerti penyebab terjadinya gejolak kehidupan, juga harus memahami hubungan antara jodoh baik buruk, kekuatan karma serta jaring duniawi, dengan begitu baru bisa memusatkan pikiran untuk membina diri; pada saat yang sama, kita juga harus memahami welas asih dan kebesaran Bodhisattva yang nyata, percaya bahwa Bodhisattva akan datang menolong saat ada yang memohon bantuannya, melafalkan paritta dalam tugas harian dengan baik dan sebagainya. Dengan kepercayaan yang kuat, barulah bisa memahami bahwa kesulitan yang dihadapi itu ada penyebabnya dan hanyalah bersifat sementara, dan semenjak itu bisa tetap tenang di dalam menghadapi keadaan apapun, mencapai tingkat kesadaran total. Tentu saja, ini adalah tingkat kesadaran yang cukup tinggi, belum tentu semua orang bisa mencapainya, namun paling tidak kita sudah mengetahui arahnya, dan kita bisa berusaha menuju ke sana, mengenai bagaimana hasilnya, baru bisa diketahui nanti setelah kita sudah mengikuti ujian dan diumumkan hasilnya.

Pikiran yang mengambang akan terombang-ambing; pikiran yang bersih akan tenang dan kokoh; dan pikiran yang tenang ini bisa membuat kita lebih bisa memahami makna dari Ajaran Buddha Dharma. Kesimpulannya, “Ajaran Buddha Dharma adalah hidup, hidup adalah Ajaran Buddha Dharma”, menerapkan Ajaran Buddha Dharma di dalam kehidupan, dan kembali menyelami maknanya dari kehidupan ini, dengan teguh dan semangat pantang menyerah, maka dengan sendirinya akan memasuki keadaan yang lebih baik.