Menggunakan Esensi “chi”Kesadaran Jiwa Untuk Mengubah Nafsu Keinginan
Setiap menjelaskan satu kalimat, Master selalu memberikan perumpamaan pada kalian. Meskipun saya sangat lelah, namun saya harus menjelaskan baik-baik pada murid-murid di seluruh dunia yang “paling pintar” ini, karena kalau saya tidak menjelaskannya, kalian juga tidak akan mengerti. Pahamilah, mengapa kita perlu menggunakan kebijaksanaan untuk menghilangkan halangan? Sudah jelas hal ini tidak bisa dilakukan, maka berpikiranlah lebih terbuka, saya tidak akan melakukannya. Banyak wanita yang tidak bisa punya anak, melihat anak orang lain, dia sangat suka sekali, dia sangat ingin sekali punya anak. Maka pada saat ini, halangan dalam pikirannya akan datang, dia akan iri pada semua wanita lain, dia akan iri pada semua keluarga lain. Lalu bagaimana kita menggunakan kebijaksanaan untuk menghilangkan halangan ini? Bagaimana menggunakan kebijaksanaan untuk mengubah nafsu keinginan ini menjadi terang cahaya? Berpikirlah begini: “Kalau punya anak, akan ada derita karena punya anak; kalau tidak punya anak, juga memiliki kebahagiaan karena tidak punya anak. Kalau punya anak, ada deritanya, juga ada bahagianya; kalau tidak punya anak, juga ada bahagianya, dan deritanya. Saya sama seperti dia, saya juga memiliki penderitaan juga kebahagiaan.” Sudah berubah bukan? Begitu berpikir seperti ini: “Di kehidupan sebelumnya, saya tidak memiliki penagih hutang, tidak ada yang saya berhutang untuk datang menagih hutangnya, saya juga tidak memiliki hutang yang harus saya lunasi. Maka, walau tidak punya anak, saya tetap hidup dengan bahagia. Saya akan menganggap semua anak di dunia ini sebagai anak saya, jika saya baik pada orang lain, maka orang lain juga pasti akan baik terhadap saya.” Memangnya ada masalah apa? Kita semua adalah penerus Buddha, kita semua adalah orang-orang yang memiliki sifat Kebuddhaan, lalu apakah kita akan melihat cinta dengan pandangan yang begitu sempit dan egois? Jangan memikirkan hal-hal lain apapun, anggaplah semua anak sebagai anakmu sendiri. Ini berarti kita harus bisa mengubah kesadaran diri sendiri, mengubah pola pikir diri sendiri, supaya pikiran sendiri dipenuhi dengan terang cahaya dan kebijaksanaan. Saat kalian melihat seorang anak perempuan kecil atau anak laki-laki kecil yang sangat lucu di pinggir jalan, lalu kalian menghampirinya dan menciumnya, apakah kalian pernah berpikir kalau itu anak orang lain? Tidak bukan? Inilah yang disebut sebagai cinta universal. Kalian sangat menginginkan jika melihat ada seorang anak kecil di pinggir, “Mama, saya lapar”. Kamu sendiri sudah makan separuh, terkadang kalian akan memberikan separuhnya kepadanya. Pada saat itu, apakah kalian pernah berpikir, “Ini punya saya, mengapa saya berikan kepadanya? Dia juga bukan anak saya?” Apakah kalian pernah berpikir begitu? Tidak. Saat kalian menyukai seorang anak, apakah kalian pernah berpikir, ini adalah anak yang dilahirkan oleh ayah ibu lain, punya orang lain, saya rasa saya tidak boleh menggendongnya, apakah ada pikiran seperti ini? Tidak bukan? Ini disebut sebagai cinta, ini adalah cinta yang tidak egois, ini adalah cinta tanpa keakuan, ini baru disebut sebagai cinta universal. Cinta yang memiliki tujuan, didasari oleh keakuan, hari ini saya baik padanya, saya menginginkan sesuatu dari dirinya, maka ini adalah cinta yang egois. Hari ini saya memberitahukan dia tentang ajaran Buddha Dharma, karena saya melihat dia berparas cantik atau tampan, maka saya bersedia bicara lebih banyak dengannya, ini adalah cinta yang sempit. Cinta yang seperti ini apakah memiliki kebijaksanaan? Cinta yang seperti ini apakah ada jasa kebajikannya?
Kita harus bisa menggunakan esensi, chi, dan kesadaran jiwa sendiri untuk mengubah nafsu keinginan kita. Apakah yang dimaksud dengan “esensi”? Di dalam tubuh manusia ada tulang rusuk, didalamnya ada sesuatu yang bisa terkumpul menjadi esensi, maka itu bisa membentuk semangat (stamina). Esensi ini sangat penting. Laki-laki seperti laki-laki, itu disebut memiliki stamina; wanita seperti wanita, juga disebut memiliki stamina. Apakah “chi – hawa energi” itu? Kalau orang ini berbicara tidak ada tenaganya, menurut kalian apakah orang ini berada dalam kondisi yang baik? Bahkan berbicara saja nafasnya lemah dan tidak bertenaga. Di dalam acara tanya jawab, Master sering mengatakan: “Coba bicara bertenaga sedikit.” Ini dinamakan tidak ada energi, orang-orang mengatakan, jika chi seseorang sudah tidak mencukupi, berarti orang ini sudah tidak bisa hidup lagi. Manusia hidup tergantung dari chi (napas), meninggal juga karena napasnya terhenti. Oleh karena itu, bagaimana mungkin manusia bisa hidup tanpa hawa energinya (bernapas)? “Esensi”adalah dari tulang rusuk, bagai kerangka besi, “chi” bagaikan semen; sedangkan “kesadaran jiwa” adalah batu bata. Menghadapi orang-orang “yang paling pintar” di seluruh dunia di bawah sini, saya hanya bisa menggunakan kata-kata yang paling sederhana untuk memberitahu kalian. Karena ada kerangka besi dan semen, maka batu bata kamu atau kesadaranmu baru bisa berdiri tegak. Orang-orang mengatakan, dia kelihatannya bersemangat dan segar bugar. Tanpa semangat, bukankah seseorang akan merasa sangat sedih? Tidak bersemangat dan loyo, berarti kesadarannya sudah tidak jernih lagi; orang-orang mengatakan, jika kesadarannya sudah tidak bagus, berarti esensinya tidak bagus. Ketika semangatnya sudah tidak bagus lagi, maka dia harus tidur; ketika seseorang sudah tidak memiliki semangat, maka dia pasti akan tumbang, ketika sudah tidak ada semangat, maka chi-nya juga akan hilang. Apakah kalian pernah menonton sepak bola? Awal mulai memasuki lapangan, setiap orang terlihat sangat bersemangat. “Ayo semangat! Semangat!” Begitu dilihat, 1 lawan 0, waktunya juga sudah hampir habis, terakhir masih ada 5 menit, skor menunjukkan 2 lawan 0, tidak mungkin bisa membalikkan keadaan. Maka para pendukungnya tidak akan berteriak lagi, lawannya juga sama, sudah tidak ada semangat dan tenaga, mereka sudah kehilangan pegangan. Seorang praktisi Buddhis harus memiliki pegangan, sedangkan pegangan ini adalah sifat Kebuddhaan di hatimu, hanya sifat Kebuddhaan yang bisa membuat seseorang memiliki esensi, chi, dan kesadaran, dan hanya ketiga hal ini yang bisa mengendalikan nafsu keinginan dirimu. Ajaran Buddha Dharma yang begitu mendalam, bisa disampaikan kepada kalian melalui perumpamaan yang sederhana, inilah Bai Hua Fo Fa.
“Satu kehidupan menjadi pejabat, sembilan kali kehidupan menjadi kerbau.” Apakah kalian memahami maksud dari kalimat ini? Karena orang yang menjadi pejabat sangat mudah melakukan kesalahan, sedangkan jika seorang pejabat melakukan kesalahan, melakukan perbuatan yang sangat amoral, maka dia mungkin di sembilan kali kehidupannya akan terlahir sebagai kerbau, tidak bisa terlahir sebagai manusia. Maka, kita harus mengamalkan kebajikan, di mana bertitik berat pada kesinambungannya – “cun heng”. “Cun” berarti menabung, yakni terus-menerus; “heng” artinya selamanya. Kita dalam bersikap dan berperilaku, serta dalam mengerjakan segala hal harus menjaga satu semangat kesadaran, harus selamanya melangkah maju ke depan. Jangan hari ini saya mengerjakannya, lalu besok tidak mengerjakannya. Bukankah kalian begitu saat bekerja? Hari ini kamu bekerja, besok tidak mau kerja, berarti kamu tidak bisa menjaga kesinambungan, uang kamu tidak akan cukup digunakan. Bukankah begitu? Dia harus memiliki suatu dorongan, harus bisa dengan teguh dan yakin untuk terus melakukannya. Xiao Yu melafalkan paritta untuk ibunya, diam-diam melafalkannya, apakah terus dilakukan? Dia setiap hari melafalkan paritta untuk ibunya. Dia sibuk sampai malam sekali, dia sendiri masih harus melafalkan paritta untuk ibunya, apakah dia terus bertahan? Dia bertahan terus, dan dia berhasil. Dia berhasil menolong ibunya. Ini yang disebut kekekalan. Oleh karena itu, poin penting dalam pembinaan diri kita juga adalah “cun heng” – kekekalan yang selamanya tersimpan di hati.
Kita dalam bersikap dan berperilaku harus memahami, “Melihat perolehan orang lain, bagai diri sendiri yang memperolehnya”. Saat melihat orang lain mendapatkan sesuatu, kita harus bergembira seperti diri kita sendiri yang mendapatkannya. Apakah kalian bisa melakukannya? “Wah, anakmu sudah lahir, benar-benar baik dan cantik, senang sekali!” Bagai dirimu sendiri yang melahirkannya. Apakah kalian bisa melakukannya? “Kamu ini orangnya begitu baik, begitu beruntung, ada kabar baik apalagi?” Sama sekali tidak cemburu, sama seperti diri sendiri yang berbahagia, ini yang disebut, “melihat perolehan orang lain, bagai diri sendiri yang memperolehnya”. Melihat orang lain: “Wah, kamu sudah sembuh dari sakit ya, senang sekali, saya turut gembira untukmu.” Baik bukan? Inilah yang disebut manusia yang berperilaku dan bersikap baik.
“Melihat kehilangan orang lain, bagai kehilangan diri sendiri.” Yakni saat melihat orang lain kehilangan, kamu merasa sedih dan sakit seperti dirimu sendiri yang kehilangan. Ada tidak? Melihat orang lain tertabrak mobil, “Aduh, kasihan sekali”, seperti kamu sendiri yang tertabrak; melihat dompet orang lain dicuri, kasihan sekali, seperti dompetmu sendiri yang dicuri. Tuan Zhong pernah ditipu orang sebesar 6 ribu dolar, rasanya sangat sedih, berpikir sama seperti diri sendiri yang ditipu 6 ribu dolar. Saat Master mengatakan hal ini, masih ada banyak orang yang tertawa senang, dalam hati berpikir: “Di dunia ini masih ada orang bodoh seperti ini?” Maka ini bukanlah sifat Kebuddhaan, orang seperti ini tidak memiliki hati baik seorang Buddha.
Menyelamatkan semua makhluk harus tanpa keluhan dan tiada penyesalan. Kita menyelamatkan kesadaran spiritual orang lain harus tanpa keluhan dan tiada penyesalan. Banyak orang yang memperkenalkan Dharma kepada orang lain sampai setengah, begitu melihat arwah asing merasuki tubuhnya, langsung ketakutan sampai tidak bisa melafalkan paritta dan tidak bisa bicara yang mau dibicarakan, segera melarikan diri. Jika kamu memperkenalkan Dharma kepada orang-orang, mana mungkin tidak akan menghadapi sedikit hubungan buruk? Jika kamu ingin membantu orang lain, mana mungkin tidak menghadapi kesulitan? Membantu orang lain tanpa keluhan dan penyesalan, itu barulah Bodhisattva. Kalian begitu menghadapi sedikit masalah, segera ketakutan, “Guan Shi Yin Pu Sa, saya hanya ingin menolong orang, dia sekarang ada arwah asing di tubuhnya, mohon Guan Shi Yin Pu Sa memintanya pergi. Saya sudah menolongnya, pokoknya saya memiliki niat seperti ini dalam hati. Untuk yang lain, mohon kamu memintanya untuk melafalkan paritta.” Kalian kira tidak banyak orang yang mengatakan hal ini, banyak yang ketakutan langsung pulang dan tidak berani membabarkan Dharma lagi kepada orang lain. Siapa yang tidak berkorban dalam menolong orang lain? Coba renungkan. Jangankan hal ini, terkadang membantu teman pindah rumah juga mungkin bisa membuat tanganmu terluka. Orang lain berkata: “Maaf ya, tanganmu terluka karena bantu saya pindah rumah.” “Tidak apa-apa, tidak sakit. Hanya berdarah sedikit, tidak apa-apa.” Mana ada yang tidak ada pengorbanan? Jika ingin menjadi orang baik, namun tidak mau berkorban, lalu apakah dia adalah orang baik? Coba pikirkan, jika memperkenalkan Dharma pada keluarga sendiri, maka kamu tidak akan bilang, hanya memperkenalkan saja, tidak mau membimbingnya melafalkan Xiao Fang Zi?
Kita dalam menyelamatkan kesadaran spiritual semua makhluk tidak boleh memiliki keluhan dan penyesalan, kita harus bisa tidak memiliki cinta maupun kebencian. Apa maksudnya? Dengan kata lain, saat kita memperkenalkan Dharma kepada orang lain, jangan ada pikiran diskriminatif dalam hati, jangan ada pikiran menyukai, juga jangan ada pikiran membenci. Jika tidak memiliki cinta, bagaimana bisa menyelamatkannya? Cinta di sini merujuk pada tidak memiliki pikiran diskriminatif – tidak membeda-bedakan. Kita tidak boleh memiliki pikiran diskriminatif, tidak boleh karena dia tampan, lalu kamu mau membimbingnya, itu berarti sudah ada cinta, sudah ada pemikiran liar. Atau karena orang ini kaya, jadi kamu mau membimbingnya, sesudahnya, kamu minta uang padanya, itu juga berarti memiliki pemikiran liar. Karena orang ini kesehatannya sangat buruk, ada sakit paru-paru, maka saat membimbingnya, kamu memakai masker, takut sakit paru-parunya menular pada dirimu, ini berarti memiliki kebencian. Oleh karena itu, saat memperkenalkan Dharma kepada orang lain harus tidak memiliki cinta maupun kebencian.