41. Menghilangkan Kemelekatan, Meninggalkan Nafsu Keinginan 去除执着,离开欲望

Menghilangkan Kemelekatan, Meninggalkan Nafsu Keinginan

Masih ada orang yang masih melekat. Banyak orang-orang yang sudah lanjut usia, seumur hidup sangat baik terhadap orang ini, namun setelah disakiti beberapa kali, dia selamanya ingat. Oleh karena itu, di mengatakan: “Saya seumur hidup sampai mati pun tidak akan memaafkan dia.” Menurutmu, jika meninggal seperti ini apakah bisa naik ke Surga? Pikirkan saja, semuanya adalah makhluk hidup, kalau dipikirkan, benar-benar kasihan sekali, memangnya ada perlunya begini? Membenci orang lain seumur hidup, memangnya kamu bisa menjalani berapa kehidupan lagi? Kamu melewati seumur hidupmu dalam penderitaan, apakah kamu bisa mendapatkan kebahagiaan? Coba renungkan baik-baik, mudah dikatakan, namun sulit dilakukan. Toleransi seperti ini seharusnya tidak berbatas, toleransi ini tiada keakuan, tiada orang lain, tiada semua makhluk. Toleransi tidak memiliki batasan, tidak dibatasi oleh syarat, juga tidak dibatasi oleh materiil, juga tidak dibatasi oleh waktu. Tidak peduli berapa tahun yang lalu kamu memperlakukan saya dengan buruk, saya sudah melupakannya; tidak peduli demi suatu masalah tertentu, kamu membuat saya sedih, saya sudah melupakannya; tidak ada yang tidak bisa saya lupakan. Jika suatu hari nanti saat saya meninggal, bahkan saya pun tidak tahu siapa diri saya sendiri. Kita terlahir pada tubuh ini, siapa kita di kehidupan sebelumnya pun, kita juga tidak tahu, maka semuanya bisa dilupakan, lalu mengapa kita tidak bisa melupakan pertikaian kecil di dunia ini? Siapa yang tidak pernah berkorban? Kalau kamu tidak memaafkan orang lain, apakah orang lain bisa memaafkanmu? Saat kamu membenci dia, memangnya dia tidak berkorban? Kamu membenci dia, karena kamu sudah berkorban, maka kamu membencinya. Akan tetapi, coba pikirkan, memang dia tidak berkorban?
Kita harus bisa meniadakan keakuan, meniadakan orang lain, meniadakan semua makhluk. Dengan kata lain, saya harus bisa memaafkan orang lain. Pertama, tidak melihat dari sudut pandang diri sendiri untuk memaafkan orang lain. Saat sepasang suami istri bertengkar, sering mengatakan: “Saya sudah menderita seberapa besar demi dirimu, sekarang saya sudah memaafkan kamu…” Ini bukanlah toleransi. “Kita berdua sama-sama sudah mengeluarkan banyak uang, akan tetapi saya mengeluarkan lebih banyak; saya dan kamu sama-sama memiliki satu anak, akan tetapi saya lebih banyak menghabiskan waktu merawat anak daripada kamu …” Menurutmu orang seperti ini apakah bisa menoleransi orang lain? Bukankah tetap ada “Aku” di dalamnya. Kita harus bisa meniadakan “Aku”, menghilangkan orang lain, menghilangkan semua makhluk, meniadakan materiil. Hati yang toleran tidak memiliki syarat apapun. Memaafkan orang lain jika masih memiliki tujuan tertentu, bagaimana mungkin ini disebut sebagai memaafkan? “Hari ini saya sudah memaafkan kamu, biarkan saya pukul kamu, kalau tidak kemarahan saya tidak akan hilang.” Apakah ini yang disebut memaafkan? Bukankah banyak wanita di antara kalian yang begini? Marah duluan, sampai pada akhirnya, suami berkata: “Maaf, saya benar-benar salah dalam hal ini.” Tetapi kamu masih tetap kesal, karena saya marah. Selanjutnya: “Kamu orang jahat ini, kalau saya tidak memukulmu, saya tidak bisa membiarkan masalah ini berlalu.” Setelah memukul, hati rasanya lebih ringan, atau setelah membanting suatu benda, hatinya terasa lebih ringan. Ini namanya masih memiliki “Aku” – keakuan. Apakah ini yang disebut sebagai toleransi? Toleransi Bodhisattva terhadap manusia apakah memiliki maksud tertentu? Apakah ada syaratnya? Anak-anak kalian melakukan kesalahan, apakah kalian akan memiliki persyaratan terhadap mereka? Jika kamu mencari toleransi dari orang lain atau pasanganmu, itu tidak sama. Karena kamu masih terbelenggu di dalam kata “Aku”. Karena ini adalah putri saya, dia melakukan kesalahan, maka saya bisa memaafkannya. Karena ini adalah suami saya, dia adalah orang luar, suami masih bisa dicari, namun anak dilahirkan sendiri, maka terhadap suami, saya boleh memarahinya, bahkan boleh memukulnya, sebaliknya, pria juga sama.

Tiada permintaan, tiada yang didapatkan, tidak ada masalah. Terhadap segala hal tidak dipermasalahkan, tidak boleh mempermasalahkan. Jika saya memedulikan hal ini, berarti hatimu mulai tamak. Apa yang perlu dipedulikan? Ada hubungan apa? Apakah menyakiti dirimu? Merusak nama baikmu? Atau menggoyahkan kedudukanmu? Atau merugikan uang kamu? Makanya kamu mempermasalahkan? Bisa menyakitimu seperti apa, coba kalian katakan?

Master memberi tahu kalian, harus bisa melihat sifat Kebuddhaan, yakni sifat Kebuddhaan kita yang semula. Sifat Kebuddhaan setiap orang semenjak dulu memang sudah ada, dia tidak pernah berubah menjadi sifat Kebuddhaan yang lain. Kalian bilang, bahwa sifat dasar kalian hari ini adalah baik, lalu apakah sifat dasar orang itu jahat? Semua orang memiliki sifat dasar yang baik, hanya saja setelah mengalami berkali-kali reinkarnasi, dia sudah tidak bisa melihat lagi sifat dasarnya sendiri; jika tidak bisa melihat sifat dasarnya sendiri, berarti sifat awalnya (sifat dasarnya yang semula) sudah tertutupi, padahal sifat dasarnya yang semula tidak berubah sama sekali, hanya saja sudah ternodai oleh dirimu. Seperti, hari ini kamu mengenakan kemeja putih, kemeja putih ini pada mulanya berwarna putih bukan? Namun karena terkena tinta, atau kamu menyenggol sesuatu yang berwarna hitam, membuat kemeja putih ini sekarang bernoda, jadi tidak bagus lagi. Lalu apakah kemeja putih ini pada awalnya berwarna? Kemeja ini semulanya bagus, namun dikotori oleh dirimu. Seperti hati nurani kalian pada mulanya sangat baik, namun “dikotori” oleh kalian, menjadi sangat kotor sekali, sangat sulit untuk dibersihkan.

Alam Manusia (dunia) ini dari awal sampai akhir merupakan tempat menodai sifat dasar kalian. Dunia ini pada dasarnya adalah tempat yang ternodai, yang membuat kamu tidak bisa melihat sifat dasar sendiri. Coba kamu katakan, seseorang demi uang, apakah dia masih bisa melihat sifat dasarnya sendiri? Demi ketenaran, apakah seseorang masih bisa melihat hati nuraninya sendiri? Seseorang demi harta kekayaan, sudah sama seperti burung. Pepatah mengatakan, “Burung mati demi makanan, manusia mati demi uang”, sudah menjadi sama seperti binatang. Akan tetapi banyak orang yang malah menggunakan pepatah ini untuk berbangga diri, “Coba lihat, saya berusaha demi uang itu memang sudah benar, burung saja mati demi makanan.” Jika begitu, mohon bertanya, kamu termasuk binatang apa? Burung itu binatang, kalau kamu mati demi uang, apakah kamu mengira dirimu adalah burung? Saya akan mengganti kata-kata dalam pepatah ini dengan kata lain, jadinya berbunyi, “Binatang mati demi makanan, binatang mati demi uang.” Lalu apakah kamu tidak mau menjadi “manusia”, malah ingin menjadi binatang? Begitulah logikanya. Oleh karena itu, kita manusia bukannya tidak memiliki sifat Kebuddhaan, namun sifat Kebuddhaan yang berada dalam diri kita bagaikan matahari. Sifat dasar Buddha dalam diri kita bagaikan cahaya mentari yang menyinari kita, membuat hatimu terasa hangat, membuat hatimu menjadi terang, inilah matahari. Kalau begitu, mengapa ada orang yang tidak memiliki sifat Kebuddhaan? Bukannya tidak ada matahari, melainkan mataharinya tertutupi oleh awan hitam, karena mataharinya tidak bersinar, karena mataharinya sudah tidak bercahaya lagi, karena sudah tidak ada lagi kebaikan di dalam sifat dasarnya, sifat dasarnya sudah ternodai. Walaupun sifat dasar sangat terang, namun tertutupi. Contoh sederhana: coba kalian ambil sebuah senter. Begitu dinyalakan, terang bukan? Lalu ambillah sebuah kain hitam untuk menutupinya, apakah masih bisa terlihat? Akan tetapi menurut kalian, senter ini masih bercahaya tidak? Apakah senter ini masih bekerja? Senter ini seharusnya masih menyala, hanya saja kamu sudah menutupi sinarnya. 

Oleh karena itu, manusia sama dengan nafsu keinginan. Kamu datang ke dunia ini, terlahir di Alam Manusia, sama dengan kamu mulai memasuki alam nafsu keinginan. Asalkan kamu sudah menjadi manusia, maka kamu akan mulai memiliki nafsu keinginan. Nafsu makan, nafsu harta, nafsu ketenaran, nafsu seksual, nafsu ketamakan, nafsu kebencian, semuanya muncul dari nafsu keinginan kamu ini, yang mendorong kamu menuju ke Alam Binatang. Seorang anak gadis yang cantik, namun hanya suka bermalas-malasan, tidak mau bekerja, pagi hari tidak mau bangun, paling bagus kalau bisa mencari pria untuk menghidupi kamu, lalu hanya bermain mahjong, seperti seorang wanita rendah yang mau menjadi simpanan orang lain. Seperti apa rupanya? Bukankah ia akan menjadi seperti budak seks? Bukankah menjadi orang yang tidak berguna? Yang saya rujuk di sini adalah anak-anak muda. Seorang pemuda atau pemudi sebelum menikah, mereka berpikir: “Paling bagus kalau saya tidak usah bekerja, saya tidak usah bangun pagi, setiap hari bisa tidur malas-malasan.” Oleh karena itu, seseorang tidak boleh diselubungi oleh nafsu keinginannya. Pagi hari tidak mau bangun, masih ingin tidur, kemudian melihat makanan, mau makan sebanyak-banyaknya; hari ini mau yang ini, besok mau yang itu; orang lain mengatakan yang ini bagus, lalu dia melakukan ini, saat orang lain mengatakan yang itu bagus, lalu dia melakukan itu; sebentar ingin cantik, sebentar ingin terkenal, sebentar ingin kaya; melihat orang lain memakai barang-barang bermerek, dia juga ingin pakai; melihat orang lain menderita, dia tidak mau membantu. Hidup di tengah nafsu keinginan, sesungguhnya sama dengan hidup di Alam Binatang.

Coba pikirkan, banyak pelaku pemerkosaan, bukankah mereka adalah binatang? Mereka sama seperti binatang yang menerjang dan memaksakan nafsunya pada orang lain, menurutmu, bukankah mereka adalah binatang? Manusia pantas atau tidak melakukan hal seperti ini? Meskipun adalah suami istri, dalam ajaran Konfusius dikatakan harus menjalankan “ritual Zhou Gong – dalam melakukan hubungan suami istri.” Jika memaksakan hubungan intim di antara suami istri, sama dengan manusia yang melakukan perbuatan binatang. Mengapa di Australia, memaksakan hubungan intim di antara pasangan suami istri bisa dipidana tindak kriminal pemerkosaan? Dulu kita tidak pernah mendengarnya, mengira hal seperti ini memang sudah lazim terjadi di antara suami istri. Akan tetapi di Australia, jika ada salah satu pihak yang tidak bersedia, lalu kamu memaksa untuk melakukan hubungan suami istri, berarti kamu sudah melakukan tindak pemerkosaan. Kita tidak boleh melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nurani di bawah dorongan nafsu keinginan. Setelah memiliki nafsu keinginan, maka akan membuat seseorang memiliki halangan. Melihat orang yang cantik, lalu memikirkannya; melihat orang lain kaya raya, memikirkannya; melihat yang ini bagus, kembali memikirkannya; melihat yang itu bagus, memikirkannya … Coba kamu pikirkan, saat nafsu-nafsu keinginan ini terlahir dalam pikiranmu, apakah kamu akan bersusah hati? Apakah kamu akan cemburu? Apakah kamu akan merasa benci? Anak tetangga sebelah ini tidak rajin belajar, namun mengapa bisa masuk sekolah yang bagus? Anak saya begitu rajin belajar, mengapa tidak bisa masuk? Dan lain-lain, semua ini akan membuat kamu berjalan menuju halangan. Merasa tidak senang bukan? Hasil ujian putri saya begitu bagus, mengapa tidak bisa masuk? Memang tidak masuk, lalu kenapa? Merasa sedih bukan? Setiap hari tidak bisa makan dengan baik dan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Oleh karena itu, kita harus bisa mengubah nafsu keinginan menjadi terang kebijaksanaan.